top of page

Galeri Cendrawasih; Ekosistem dan Jual Beli Karya

Diperbarui: 11 Nov 2022

Alif Aflah Yafie
ree
"Penantang Badai" Muh Tamzil 180x100cm


14 Februari 2022, dalam proses memulai pengumpulan data satu dekade kesenirupaan Makassar (2011-2021), Saya bersama Haripin berkunjung ke rumah sekaligus studio seorang perupa. Perupa itu bernama Budi Heryawan atau akrab kami sapa dengan Kak Budi. Alasan kami memulainya dari Kak Budi ialah, dikarenakan perupa yang menguasai beragam gaya lukis ini, merupakan seseorang yang sampai hari ini masih menyimpan arsip kesenirupaan di Makassar, terutama seperti katalog pameran dan dokumentasi kegiatan pameran ataupun aktvitas kesenian dari tahun 90an. Maka pengalaman dalam menyaksikan serta ikut serta di dalam fenomena kesenian saat itu penting untuk dapat diketahui.
Selepas Magrib, malam itu perbincangan kami dibuka oleh kopi hitam yang diseduhkan oleh sang pemilik studio. Sambil menyeruputnya kami menyaksikan wajah Bapak Makruf Amin yang muncul melalui kanvas putih berukuran sekitar 1,5 x 2 meter. Lukisan tersebut begitu mudah kami kenal, walaupun yang tampak masih sebagian wajah yang diselesaikan. Kata Kak Budi, ia sedang mencoba teknik baru dalam melukis, yaitu dengan langsung masuk ke tahap pendetilan tanpa memberikan cat dasar yang umumnya terlebih dahulu dilakukan dalam proses melukis. Pak Ma’ruf Amin tidak sendiri hadir saat itu, ada juga sosok pasangannya Bapak Joko Widodo sedeng menunggu di ruang tamu; sudah selesai deluan dari beberapa hari lalu. Bukan tanpa alasan Kak Budi menghadirkan mereka melalui tangannya, potret kedua pemimpin tersebut merupakan karya ā€˜pesanan’ yang di terima oleh Kak Budi. Mau bagaimana lagi, untuk berkesenian di Makassar kita butuh dana juga untuk menghidupinya. Mimpi karya bisa terjual dan dikoleksi, realitanya apresian saja masih kurang; sedikit banyak yang hadir, lebih banyak tidak mengerti dengan sajian karyanya.

ree
Studio Budi Haryawan. 14 Februari 2022

Untuk Kak Budi yang berkeyakinan bahwa karya-karya independennya tidak untuk dijual, harus berusaha menafkahi kehidupan kekaryaannya sendiri, salahsatunya dengan menerima pesanan potret wajah. Begitupun dengan perupa lain, seperti Ahmad Fauzi yang beropfesi sebagai tenaga pengajar SMA atau Jenry Pasassan yang sudah mapan kekaryaannya dikarenakan ada bisnis properti mendukung dari belakang. Mau tidak mau untuk hidup berkesenian di Makassar harus memiliki pekerjaan sampingan untuk menghidupinya. Tentu kita tidak dapat menafikan upaya mereka untuk terus berkarya, masih lebih banyak perupa lain yang akhirnya beralih pekerjaan hingga belum menghasilkan karya lagi sampai sekarang. Dari sana lahirlah pertanyaan, akankah bisa Makassar memiliki seniman yang secara total bekerja dalam kerja-kerja kekaryaan?
Kehidupan berkarya seorang perupa sangat bergantung pada bagaimana lingkungannya memelihara semangat dalam berkreasi. Para perupa biasa akan menciptakan kelompok-kelompok dengan kesadaran serta tujuan berkesenian yang sama. Sekiranya jalanan yang sunyi dapat dilalui bersama-sama, setiap kelompok memiliki ikatan emosionalnya masing-masing. Kelompok tersebut memiliki peran sebagai wadah pengembangan dan pertukaran pengetahuan dalam menatap pristiwa-pristiwa kesenian yang sedang berlangsung di sekitar. Hasil dari perputaran pemikiran didalamnya, ialah dengan hadirnya kegiatan-kegiatan kesenirupaan yang dapat dihadiri secara terbuka.
ree
Budi haryawan. 14 Februari 2022

Namun berapa banyak pameran serta buku katalog bertumpuk-tumpuk, masih belum cukup untuk menjaga keberlanjutan untuk terus berkarya. Tantangannya sama, yaitu bagaimana bisa hidup dengan berprofesi sebagai seniman. Ditambah dengan bahasan yang melupakan tujuan keberlanjutan, kegiatan-kegiatan tersebut hanya terus menjadi ledakan momentum-momentum sementara hingga terlupakan nantinya.
Ekosistem kesenirupaan untuk suatu daerah tentu tidak mudah untuk diciptakan, diperlukan adanya orang-orang yang mampu mengisi peran dalam menjadikannya hidup. Kak Budi bercerita, bahwa untuk membangun ekosistem itu layaknya menyontohi ekosistem alam itu sendiri seperti apa. Analoginya seperti danau, ia dapat dikatakan sebagai danau apabila ada kehidupan kompleks yang melatar belakanginya; memiliki jenis-jenis ikan, udang, alga ataukah tumbuhan yang dapat hidup di dalamnya. Mereka tidak bisa hidup sendiri, tetapi saling menghidupi dalam sebuah simbiosis. Dengan keberlangsungan hidup yang terjalin antara setiap komponen di dalamnyalah yang melahirkan sebuah ekosistem. Ekosistem kesenirupaan juga demikian, wacana kesenian seharusnya tidak hanya berputar pada seniman atau kelompoknya sendiri, tetap menyebar dan saling mempengaruhi.
Dalam membangun ekosistem, diperlukan hadirnya peran-peran selain seniman, seperti kurator, art management atau art dealer, kritikus atau penulis seni, dan yang terpenting ialah collector atau pembeli karya si seniman. Dengan saling terhubungnya berbagai peran tersebut, maka pemahaman publik lambat laun akan lebih mengenal bagaimana kesenian di daerahnya. Apabila ekosistem kesenian dapat bertumbuh untuk menghidupi dirinya sendiri, mungkin di sanalah seniman dapat berkarya tanpa harus menghawatirkan besok makan apa.

Mula dan Akhir
Pada tahun 1996 didirikan studio dan galeri senirupa bernama Galeri Cendrawasih. Berdirinya Galeri Cendrawasih merupakan sebuah ide yang lahir dari seorang keluaran Mahasiswa Kedokteran UNHAS bernama Andi Darmawansah atau biasa dipanggil dengan Wawan. Bersama dengan Kak Budi dan temannya Rendy, mereka menciptakan sebuah ruang yang selain menjadi tempat berkumpulnya perupa-perupa saat itu, tempat tersebut juga berperan besar dalam menghidupkan kembali perekonomian kesenirupaan dengan menghadirkan pembeli-pembeli karya lukis yang saat itu mulai sedikit peminatnya.

ree
Aktifitas melukis di Galeri Cendrawasih. Sketsa Budi Haryawan.

Sebelumnya berdiri, ruang yang awalnya merupakan garasi itu dimanfaatkan sebagai tempat Wawan menyalurkan minatnya dalam bidang fotografi, yaitu sebagai studio foto. Namun dalam proses perjalanan waktu, Wawan akhirnya bertemu dengan Amir Hafid atau akrab disapa Rimba yang saat itu aktif di Studio Keraton. Dari pertemuan tersebut akhirnya Rimba dipercayakan untuk manjadikan ruang tersebut sebagai studionya. Studio tersebut dinamakannya dengan ā€œStudio Garasiā€. Dari pertemuan itu, Wawan juga dapat berkenalan dengan Kak Budi dan Rendy yang sebelumnya aktif di Pasar Seni di Benteng Sumbopu. Kehadiran Kak Budi dan Rendy memberikan ide baru untuk mengubah studio tersebut sebagai galeri yang dapat berfokus di penjualan karya. Lahirlah nama ā€œGaleri Cendrawasihā€.
Galeri yang berlokasi di Jl. Cendrawasih itu tidak hanya menjadi ruang untuk para perupa untuk sekadar melukis dan memajang karya saja. Ide Wawan untuk menjadikan Galeri Cendrawasih sebagai galeri lukis, yaitu tempat datangnya orang-orang yang sedang atau ingin mencari karya seni dari Makassar. Dengan adanya galeri ini, upaya dalam melakukan pengkoleksian karya dapat diterapkan secara khusus. Dengan kemampuannya dalam bidang manajemen serta memiliki relasi yang luas, Wawan berperan sebagai manager galeri yang bertugas dalam menghidupakan galeri dan senimannya. Perupa dapat bebas serta difasilitasi kekaryaannya di studio dan karya-karya yang telah selesai nantinya akan disiapkan untuk dapat dipertemukan pemaharnya. Lalu bagaimana kerja-kerja tersebut dapat dijalankan, sedangkan modal untuk menghasilkan karya rupa tidak murah?

ree
Sketsa Jenry Pasassan, ciptaan Budi Haryawan

Untuk modal awal, Wawan berinisiatif untuk membeli berol-rol kanvas. Kak Budi bercerita, kanvas-kanvas tersebut diupayakan untuk dapat dijual kembali dalam bentuk lengkap dengan spannya. Dalam menciptakan pasarnya, Kampus IKIP Ujungpandang (sekarang UNM) yang memiliki Jurusan Seni Rupa saat itu menjadi salah satu tempat melangsungkan penawaran. Kak Budi yang saat itu masih menjadi mahasiswa kampus tersebut berperan dalam menawarkan pada teman-temannya. Tentu saja laku, sebab mahasiswa seni rupa akan sangat membutuhkan jumlah kanvas yang banyak demi sekadar menyelesaikan kewajiban perkuliahan atau sebagai pemenuhan kebutuhan berkreasi. Melalui proses itu juga banyak mahasiswa yang akhirnya ikut aktif meramaikan Galeri Cendrawasih saat itu. Salahsatunya seperti Achmad Fauzi yang nantinya menemani Kak Budi dalam mengurus studio ketika Rendy berpindah ke Bali.
Berdirinya Galeri Cendrasih juga merupakan titik awal keseriusan Kak Budi dalam berkarya dibidang lukis. Terkhusus dalam teknik melukis realis, Kak Budi banyak belajar dari Rusdy Turnajaya yang juga aktif di galeri saat itu. Dalam artikel Budi Haryawan: Leang-Leang Penanda Jalan Kepunahan, Galang Mario menuliskan pertemuan Kak Budi dan Rusdy Turnajaya yang saat itu telah dikenal sebagai pelukis realis dari Makassar. Selain mempelajari cara melukiskan objek dengan tepat, Kak Budi juga belajar cara menguasai teknik melukis dengan menggunakan pisau palet. Pertemuan yang terjadi di galeri tersebut menjadi proses penting dalam kekaryaan Kak Budi hingga hari ini.
Galeri Cendrawasih secara tidak langsung menjadi tempat bertukarnya pengetahuan serta pentrasferan kemampuan dalam berkarya. Tidak hanya Rusdy, kerap hadir juga perupa profesional di antaranya seperti Firman Djamil dan Dicky Chandra. Adapun dosen senirupa IKIP Ujungpandang yang masih aktif berkarya, seperti Kahar Wahid dan Thamrin Mappalahere; Dicky Chandra juga selain berkesenian ia juga menjadi pengajar aktif di IKIP Ujungpandang. Dari perkumpulan yang terjadi, tempat tersebut juga menjadi saksi keakuran serta konflik yang tidak jarang terjadi antar para perupa. ā€œkalau sudah masuk ranah prinsip kesenian, tentu akan ada perbedaan pendapatā€ tambah Kak Budi.
Ditemani lantunan musik yang dibawakan Fariz RM, cerita kembali berlanjut ke tahun 1997. Saat di kampus, Kak Budi ditemui oleh Ketua Komite DKM (Dewan Kesenian Makassar) yang sedang menjadabat saat itu. Perbincangan tersebut menyangkut akan ditutupnya galeri yang dikelola DKM sejak 1996. Hasilnya, seluruh karya-karya lukis yang berada di Galeri DKM dipindahkan ke Galeri Cendrawasih. Tidak hanya karya saja, perupa yang aktif bersama DKM seperti Mike Turusy turut melanjutkan proses kekaryaannya di Jalan Cendrawasih juga.
ree
Aktifitas di Galeri Cendrawasih. Sketsa Budi Haryawan.

Tujuan galeri dalam melakukan penjualan lukisan tidak hanya berakhir pada pemajangan di ruang yang dulunya garasi tersebut. Semangat untuk menjemput bola dilakukan dengan melakukan pemajangan karya di Pameran Expo (Exposition) yang sering diadakan pada tahun 1990an. Pameran Expo merupakan pameran dagang yang diciptakan dalam rangka mewadahi beragam usaha penjualan seperti elektronik, kendaraan, properti, pakaian dan beragam bentuk wirausaha lain. Setiap usaha nantinya akan menampilkan produk dan demonstrasi produknya kepada pengunjung. Hadirnya pameran tersebut merupakan medium dalam memasarkan produk atau beriklan yang saat itu masih terbatas, yaitu masih sebatas pada media cetak. Adapun TVRI yang masih menjadi satu-satunya siaran tv saat itu membatasi masuknya produk untuk diiklankan. Biasanya produk yang terdaftar dipromosikan dalam siaran niaga.
Galeri Cendrawasih yang saat itu hadir mengisi lapak atau stan penjualan, menjajahkan karya-karya lukis dari para perupa berdampingan dengan produk dari usaha lain. Dari sini mungkin kita akan bertanya, mengapa mereka tidak membuat pamerannya sendiri? Tetapi keputusan dalam mengikutsertakan karya lukis di kegiatan pasar tersebut bisa dikatakan tepat dalam kondisi saat itu, yaitu dalam menghadapi kurangnya pemahaman serta minat masyarakat pada karya rupa itu sendiri. Dengan ikut serta, galeri dapat memperkenalkan secara langsung bagaimana karya senirupa itu kepada pengunjung yang saat itu mungkin saja belum mengetahui. Orang-orang yang mungkin saja awalnya hanya lewat tanpa niat melihat lukisan, bisa saja menjadi peminang karya yang terpajang. Nama dari Galeri Cendrawasih-pun dapat lebih dikenal lebih luas, terutama dengan perusahaan-perusahaan lain yang mungkin saja dapat saling berelasi. Keputusan tersebut sebenarnya dapat dikatakan tepat, sebab dapat menjadi strategi efektif dalam mengembangkan usaha yang dikelola oleh Wawan, yaitu dalam membawa karya lukis di bidang bisnis. Pameran Expo yang biasa diikuti Sanggar Cendrawasih yaitu di Balai Manunggal, Jl. Jendral Sudirman. Biasanya berlangsung selama seminggu.
Setelah tiga kali menjadi peserta Pameran Expo, pada tahun 1998 Galeri Cendrawasih bekerja sama dengan Hotel Sadona Makassar (sekarang Hotel Aryaduta) untuk melangsungkan pameran. Pameran tersebut mengangkat tajuk ā€œ21 Warnaā€. Selain karya koleksi dari galeri sendiri, pameran tersebut juga menghadirkan karya-karya yang dikreasikan oleh mahasiswa dan dosen senirupa IKIP Ujungpandang. Ada juga perupa yang akhirnya aktif berkarya kembali seperi S. Malala juga ikut serta.
ree
Budi Haryawan memperlihatkan arsip sketsanya di tahun1998.

Pameran yang katanya berlangsung bertepatan dengan terjadinya kericuhan di tahun 1998 itu, menurut Kak Budi, pameran tersebut menjadi pameran paling besar dan berhasil di Makassar kala itu. ā€œWalaupun di Jakarta terjadi kericuhan, Kita di Makassar tetap berpameranā€. Pameran tersebut bahkan berhasil menjual 80% dari karya yang terpajang. Karya yang telah terjual-pun setelahnya akan langsung diangkut oleh pemaharnya dan digantikan dengan karya baru lagi. Sistem pameran tersebut dinamakan dengan ā€œPameran Bursaā€. Galeri dapat menggait banyak karya untuk dipamerkan, sebab pada saat itu pameran samasekali tidak ada yang berlangsung. Dengan terbukanya pendaftaran ikut serta secara umum, memberikan peluang untuk semua orang bisa berpartisipasi menampilkan karyanya.
Kak Budi juga bercerita, saat sebelum Pameran 21 Warna diadakan Galeri Cendrawasih sempat berpindah ke Jl. Latimojong. Membuka galeri dengan menampilkan karya-karya dosen-dosen seni rupa IKIP Ujung Pandang seperti Sri Marhaen Sakti, Sumardi PR, Mattapura Husain, Benny Subiantoro, Karta Jayadi, Thamrin Mappalahere dan Yabu. Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa di tahun 1990an dosen-dosen senirupa cenderung aktif dalam memproduksi karya walaupun tetap memiliki kesibukan dalam mengajar. Pada buku Seni Rupa Mimesis dan Modern/Kontemporer di Sulawesi Selatan, Sofyan Salam menjelaskan bahwa tahun 1990an merupakan masa tampilnya dosen dalam berpameran secara tunggal di dalam atau di luar kampus.
Masih di tahun 1998, Galeri Cendrawasih juga sempat kembali melakukan pameran di Hotel Sahid. Pameran yang tetap dikelola oleh Wawan untuk dapat menjual karya tersebut, sempat berlangsung dua kali. Pertama, pameran bertajuk ā€œPesona Indonesiaā€ dan setelahnya ā€œWajah Reformasiā€. Sayangnya, Kak Budi tidak sempat membagikan cerita terkait peristiwa yang terjadi saat itu. Katalognya juga tidak sempat ia simpan.

ree
Sampul katalog Pameran Lukisan Ekspresi Lagaligo.

Tahun 1999, Galeri Cendrawasih dalam Yayasan Seni Rupa Lagaligo melangsungkan pameran di Jakarta Pusat, tepatnya di Wisma BSG, Jl. Abdul Muis No. 40. Bertajuk ā€œEkspresi Lagaligoā€, pameran tersebut menghadirkan karya dari Bachtiar Hafied, Irsyad Achmad, Mansyur Mas’ud, Rusdi Turnajaya, M.N Amry, Sakka Jatimayu, Samsir Syis, Zainal Beta, Thamrin Mappalahere, N. Nanda dan Budi Haryawan (Kak Budi). Kak Budi saat itu tidak sempat hadir menemani Wawan dalam mengelola pameran yang mengharuskannya menyebrang ke Ibu Kota Indonesia. Berdekatan dengan jadwal pameran, Kak Budi juga melaksanakan pernikahan di kampungnya Bone.
Pameran Ekspresi Lagaligo menjadi momentum akhir dari berdirinya Galeri Cendrawasih. Tidak lama selang kegiatan pameran berakhir, Andi Darmawansah dikatakan terkena penyakit yang mengharuskannya beristirahat di rumah orang tuanya di Gunung Sari. Kak Budi yang setelah menikah berpindah untuk menetap di Bone menyebabkan berkurangnya pengurus sanggar. Adapun pengurus yang telah dipercayakan untuk mengelola galeri, mereka akhirnya pergi setelah perkuliahannya selesai. Banjir besar yang terjadi pada tahun 1999 juga berdampak pada rusaknya karya, stan lukis, serta data arsip milik galeri, seperti katalog dan potongan liputan koran.

Kelanjutan Perjuangan
Keberlanjutan para perupa tidak dapat terpisahkan dari peran-peran di luar dirinya. Terutama dalam memenuhi kebutuhan berkarya yang tidak menggunakan modal sedikit. Dalam artikel terbitan Visual Art yang berjudul ā€˜Masa Sulit’ Perjuangan Seni Rupa di Makassar, Roell Sanre menceritakan bahwa Makassar pernah pengalami masa karya dapat dengan mudah terjual. Masa indah tersebut berlangsung pada era 80-an, yakni dimana pembeli lukisan masih kerap hadir dalam pameran-pameran yang diadakan. Terjadinya krismon pada tahun 1996, menciptakan semakin berkurangnya minat untuk mengoleksi lagi.
Hadirnya Galeri dan Studio Cendrawasih di tahun 1996, menjadi salah satu bukti adanya upaya untuk terus menghidupkan ekosistem senirupa dan seniman Makassar. Walaupun tidak dapat dipungkiri, pro dan kontra akan selalu hadir di dalamnya. Wawan dalam kerja-kerja penjualan karya atau art dealer, tidak dapat terpisahkan juga dalam tanggung jawabnya memanejemeni karya dan seniman-senimannya. Kak Budi mengatakan, bahwa Wawan memiliki kelebihan dalam melihat seperti apa karya memiliki nilai jual. Disamping itu, pengorganisasian serta kemampuan Wawan dalam menemukan kerja sama dengan berbagai pihak menjadi nilai lebih dalam melangsungkan kegiatan-kegiatan kesenirupaan skala besar.
Pencapaian terbesar Cendrawasih ialah bagaimana memasarkan karya lukis dari Toraja dan Jakarta. Selain Galeri Cendrawasih, ada juga Dicky Chandra dan SA Jatimayu yang berperan dalam membawa karya-karya perupa Makassar ke Jakarta, pusat penjualan karya rupa Indonesia.
Setelah berakhirnya Galeri Cendrawasih, belum ada lagi pemeran baru dalam menunaikan aktivitas penjualbelian karya di Makassar. Perupa kembali berjuang dalam memasarkan karyanya sendiri, sama halnya pada tahun 70 dan 80an. Perbedaannya, sekarang minat untuk membeli karya malah semakin berkurang. Armin Mustamin dalam sebuah postingan facebook-nya, menyamakan perupa makassar sama halnya tukang sate. ā€œDari hulu hingga hilir…berkarya juga bekerja sendiriā€.
Sangat sulit untuk menyamakan minat masyarakat yang masih memami keindahan pada objek realis, dengan idealisme perupa yang karyanya sudah mencapai tahap kontemporer. Mungkin, beberapa karya masih dibeli oleh para kolektor lamanya, tetapi masih lebih banyak lagi karya yang mungkin hanya disumbangkan kepada sesama teman perupa; beberapa karya tertinggal di studio masing-masing menunggu publik melihatnya; beberapa karya tidak sempat terselesaikan dikarenakan perupanya beralih mencari pekerjaan lain. Mungkin, medan perNFTan bisa menjadi solusi, tetapi akankah ekosistem kesenian tetap hidup apabila segalanya bisa di digitalkan?

Ā 
Ā 
Ā 

Komentar


bottom of page