top of page

Interkoneksi Estetik Spirit Leang-Leang (Menafsir Perjumpaan dengan Perupa MAIM)


ree

Tafsir tidak sama dengan substansi makna. Sebagai tafsir, bisa saja berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Konkretnya, tulisan ini adalah tafsir terhadap perjumpaan tim Merupa dengan Perupa Makassar Art Initiative Movement (MAIM). Peristiwa ini terjadi pada saat MAIM berproses mencipta karya instalasi bertema, “Spirit Leang-leang; Melampaui Rupa Memaknai Nilai Sejarah”.

Intensitas perjumpaan dan berbagi pengalaman tim Merupa dengan 9 perupa dan 1 komunitas perupa (Rempa) berlangsung sekira Oktober 2021. Sembilan perupa, yaitu; Ahmad Anzul, Ahmad Fauzi, Amrullah Syam, Budi Haryawan, Faisal Syarif, Goenawan Monoharto, Jenry Pasassan, Haroen P. Mas'ud dan Muhammad Suyudi serta satu komunitas, yaitu Ruang Seni Kreatif Perempuan Makassar (Rempa) yang saat ini dikoordinasi oleh Nur Ikayani, melakukan penciptaan karya seni instalasi. Mereka mencipta sepuluh karya dalam even seni rupa yang dilaksanakan Makassar Art Initiative Movmenet (MAIM) atas dukungan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristekdikti. Proses penciptaan karya berlangsung secara intensif sejak September sampai Oktober 2021. Pameran karya dilaksanakan di Fort Rotterdam Makassar pada 12-19 November 2021. Tema yang diangkat dalam perhelatan ini, “Spirit Leang-leang: Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah”.


Berdasar pada perbincangan ringan dan wawancara tatap muka ditemukan bahwa sepuluh karya seni instalasi tersebut merupakan karya yang otonom, berdiri sendiri sebagai karya seni rupa instalasi meskipun tetap berada dalam satu ikatan tema yang sama.


Goenawan Monoharto, fotografer seni rupa, menampilkan karya dengan konsep “To” atau tau dalam kosa kata suku Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar bermakna manusia. Kehidupan adalah keniscayaan, kata Gunawan. Bumi berputar melewati masa, berjuta tahun. Kemudian ada kehidupan manusia di liang-liang (Leang-leang). Selama puluhan ribu tahun, manusia purba sudah berpikir dengan segala kemampuan intelektualnya. Manusia melakoni peradabannya dengan berbagai peristiwa; konflik dan damai. Semua itu berlangsung melalui proses ilahiah yang ditafsir Goenawan Monoharto.


Perbincangan dengan Ahmad Anzul mengungkap bahwa perupa ini memaknai Leang-leang sebagai sebuah energi yang tercipta dari keluarga. Muasal dari energi itu adalah “rahim". Leang-leang adalah rahim peradaban manusia. Bagi seniman penyinta hujan ini, Leang-leang bukan sekadar peninggalan purbakala tapi ia membawa penanda energi untuk kehidupan manusia selanjutnya.


Keberlanjutan peradaban manusia hanya bisa terjadi jika berbekal cinta. Demikian pernyataan perupa Faisal Syarif dalam suatu perjumpaan. Cinta mewujud dalam diri individu manusia. Ia merupakan kristalisasi dari pengalaman-pengalaman estetik masing-masing individu. Lukisan tangan di Leang-leang menujukkan bahwa tidak ada cap tangan yang saling menumpuk. Hal ini mengandung penanda bahwa individu seharusnya saling menghargai, saling memberi ruang dan kesempatan. Semua ini bisa terjadi jika cinta menjadi landasannya. Bagi Faisal Syarif, ia mendapatkan pengalaman estetik ketika bersentuhan langsung dengan Leang-leang. Kristalisasi pengalaman yang membawa penanda cinta inilah yang “mungkin” menjadi resilience, secara harfiah berarti ketangguhan. Penandanya adalah bahwa cinta mampu menjadi bekal individu untuk tangguh melakoni kehidupannya. Cinta yang dimaksud di sini adalah anugrah ilahi.


Manusia mengemban amanah sebagai pejalan melalui takdirnya masing-masing. Peradaban purba Leang-leang adalah penanda tentang “muasal” peradaan manusia. Takdir manusia merupa jalan berliku, berkelok, turun naik, terjal dan landai. Peradaban prasejarah Leang-leang adalah satu dari banyak realitas-realitas peradaban manusia yang mengandung nilai sejarah; sebagai sarana penyampai pesan bahwa pada mulanya manusia itu hidup sederhana, kemudian manusia itu melakukan eksploitasi lingkungan alam dan sosialnya secara berlebihan. Leang-leang adalah satu dari banyak mata rantai peradaban. Ia menyampaikan pesan, ”Wahai manusia, muasal hidupmu itu sederhan, lalu kenapa berlebihan,” demikian tafsir atas perbincangan dengan perupa Muhammad Suyudi.


Manusia terus melakoni peradabannya; melalui waktu dan momentum, ada yang kontinu ada pula yang melompat-lompat, ada yang indah ada pula yang getir, ada harmoni dan pula konflik. Peristiwa-peristiwa terjadi dalam ruang dan waktu. Keseluruan lakon itu tersimpan dalam kesadaran, bahkan termasuk dalam alam bawah sadar manusia. Manusia membangun rumah dari batu, di dalam batu, dari pohon dan di dalam pohon untuk berlindung. Masa lalu dan masa kini tetaplah terpaut bagai jejaring. Semua itu menjelma ingatan-ingatan yang disebut, “Memory”. Semua ini bermakna dan bernilai bagi eksistensi manusia. Bagi komunitas Ruang Seni Kreatif Perempuan Makassar (Rempa), Leang-leang adalah satu bagian dalam jejaring memory itu. Saat ini Rempa dikoordinir oleh Nur Ikayani. Rempa adalah komunitas yang melibatkan perempuan dan disabilitas dalam berkarya, termasuk dalam karya seni instalasi yang dipamerkan di even MAIM. Karya seni instalasi Rempa berjudul Memory adalah satu dari sepuluh karya seni instalasi MAIM kali ini.

Sejatinya, manusia itu menuju pada sublimitas, keagungan tertinggi sebagai makhluk mulia. Manusia melakukan berbagai tindakan untuk mencapai sublimitas itu. Manusia pun melakukan eksplorasi dan eksploitasi alam lingkungannnya. Untuk mencapai sublimitas itu, manusia berbangga; bangga pada pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologinya. Padahal sesungguhnya manusia sedang menggali makamnya sendiri yang disebut kepunahan. Pernyataan ini merupakan penggalan perbincangan dengan perupa Budi Haryawan yang memberi judul pada karyanya,”Menuju Jalan Kepunahan”. Budi Haryawan memaknai Leang-leang sebagai penanda kepunahan itu jika manusia tidak mawas diri; menghentikan eksploitasi alam dan eksplorasi teknologi yang justru menuju pada kepunahan manusia itu.


Leang-leang, saat ini, adalah tanda zaman. Ia membawa penanda peradaban manusia. Persentuhan kembali dengan Leang-leang menginspirasi perupa, Amrullah Syam untuk mencipta karya seni instalasi yang diberi judul,”Kadera”. Kata kadera secara harfiah diterjemahkan “kursi”. Kursi adalah tanda. Penandanya, dapat semakna dengan; tahta, kekuasaan, regulasi dan hukum adat. Sebagai tanda peradaban manusia, Leang-leang bisa hancur dan punah. Eksploitasi tambang marmer dan semen di dekat Leang-leang menjadi penguat statemen Amrullah Syam ini. Melalui Kadera, Amrullah Syam menegaskan bahwa sebelum Leang-leang tinggal kenangan maka pemerintah, seluruh pengambil kebijakan dan kelompok masyarakat yang memiliki kuasa atas Leang-leang harus melindungi melalui regulasi, bahkan hukum adat yang kuat dan mengikat. Eksplorasi dan eksploitasi di sekitar Leang-leang harus dihentikan untuk mencegah kehancuran.


Tugas manusia adalah khalifah, penjaga amanah, penjaga semesta kemanusiaan dari Sang Maha Pencipta Lagi Maha Kasih. Leang-leang adalah amanah yang seharusnya dijaga. Perupa Jenry Pasassan dalam kesempatan bincang tatap muka mengatakan bahwa Leang-leang adalah satu dari jutaan penandaan kesemestaan. Ia adalah penanda kuasa ilahi. Leang-leang adalah penanda spiritual. Di situ ada penanda pengorbanan, penyembahan, etos, keharmonisan dan kebersamaan. Darinya, lahir berbagai tafsir dan ilmu pengetahuan. Jelas, Leang-leang harus dijaga. Oleh karean itu, dibutuhkan “Penjaga Amanah” untuk keberlangsungan peradaban manusia. Karya instalasi Jenry Pasassan diberi judul,”Penjaga Amanah” yang dipamerkan dalam karya seni instalasi MAIM.


ree


Leang-leang adalah tanda doa. Lukisan tangan yang tidak menumpuk satu dengan lainnya membawa penanda bahwa manusia Leang-leang melakukan komunikasi secara transenden; bisa dalam bentuk penyerapan dan atau pelepasan energi, bisa pula sebagai bentuk terapi. Lukisan-lukisan tangan sengaja dibuat di tempat-tempat khusus dan tersembunyi di atas langit-lagit gua dan bukan di bagian bawah dinding gua. Ini adalah tanda tentang sakralitas tempat itu. Pernyataan ini adalah penggalan perbincangan intens dengan perupa Ahmad Fauzi. Baginya, lukisan tangan di Leang-leang adalah tanda tentang doa dan transendensi. Manusia sesungguhnya tidak memiliki kuasa atas diri dan kehidupannya. Segala upaya manusia tidak ada artinya dibandingkan dengan kuasa Sang Maha Berkuasa. Doa-doa menjelma sayap-sayap, terbang menuju pada Sesuatu, Sang Maha Segala. Demikian sekira tafsir atas percakapan dengan Ahmad Fauzi.


Perdaban manusia merupakan rangkaian dari penggalan-penggalan peristiwa dan momentum-momentum. Peradaban manusia prasejarah yang ditemukan melalui lukisan kuno di Leang-leang menunjukkan bahwa manusia itu bertransformasi menurut zamannya. Manusia prasejarah menunjukkan eksistensinya melalui lukisan-lukisan, tanpa kata, apalagi narasi. Manusia modern mengidentikkan dirinya dengan efisiensi dan efektfitas sebagai bukti keberfungsian mesin-mesin industri. Manusia kekinian memanifestasikan diri melalui kecanggihan teknologi komunikasi, teknologi nano dan digitalisasi. Realitas ini menunjukkan bahwa manusia dan segala peradabannya terus mengalami transformasi, berubah dan terus berubah. Hanya ada satu jalan yang tidak berubah yaitu, “Jalan Transformasi”. Jalan Transformasi adalah jalan spiritual, yaitu jalan dimana terjadi transformasi-tansformasi yang dilakukan manusia. Transformasi tersebut adalah penyesuaian diri manusia terhadap tuntutan zamannya. Ujung dari jalan transformasi adalah penyerahan diri kepada Yang Maha Mutlak dan Tidak Berubah. Jalan inilah yang dinilai oleh perupa Haroen P. Mas'ud sebagai jalan yang mampu membawa manusia kepada keberlangsungan masa peradaban yang panjang, tidak segera sampai pada kepunahan. Jalan Transformasi karya Harun P. Mas'ud juga merupa di pameran seni instalasi MAIM pada 12-19 November 2021 bersama 9 karya seni instalasi lainnya.


Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa setiap karya seni instalasi yang diciptakan perupa pada even MAIM ini adalah karya yang berdiri sendiri, otonom dan memiliki penandanya sendiri-sendiri. Sepuluh karya seni instalasi tersebut merupakan wujud dari respon senimannya terhadap Leang-leang sebagai situs purba peradaan manusia. Setiap karya seni instalasi merupakan kristalisasi pengalaman sosial dan pengalaman batiniah senimannya. Meskipun bersifat otonom dan individual namun setiap karya terhubung satu dengan lainnya sebagai suatu rangkaian kisah peradaban manusia. Karya tersebut mengalami interkoneksi antara satu dengan lainnya. Sepuluh karya instalasi tersebut merupa fragmen-fragmen peradaban manusia dari lahir sampai kembali kepada Penguasa Sesungguhnya. (Galang Mario, Alif Aflah Yafie, Hariping, Syamsuddin Simmau, Red.)


 
 
 

Komentar


bottom of page