Makna Menggambar
- merupajalanseni
- 25 Mei 2022
- 10 menit membaca
Diperbarui: 31 Mei 2022

Alif Aflah Yafie
Kegiatan menggambar selalu hadir dalam setiap perkembangan kehidupan manusia. Melalui dinding gua Leang-leang di Maros ataupun Altamira di Spayol, hingga terciptanya berbagai bentuk kreasi dan ilmu pengetahuan hari ini. Manusia tidak lepas dari kegiatan menggambar, tetapi bagaimanakah kita memaknai aktivitas menggambar itu?
Setiap orang memiliki cara berbeda dalam memaknai aktivitas menggambar di hidupnya, bebrapa mungkin akan menggapnya sebagai kegiatan corat-coret di waktu luang; beberapa menjadikannya sebagai wadah penumpahan pikiran dan perasaan; atau tidak jarang juga ada yang memahaminya sebagai perbuatan tidak penting. John Clapp mengatakan bahwa belajar menggambar, akan mengembangkan penglihatan dengan lebih jernih sekaligus mampu mengkomunikasikan apa yang telah dialami dan diimajikan.
Menggambar merupakan komunikasi yang lebih dulu dikuasai manusia sebelum komunikasi lisan ataupun tulisan. Dalam pertumbuh-kembangannya, manusia kanak-anak menjadikan menggambar sebagai wadah untuk menumpahkan pikiran dan perasaannya, sekaligus menjadi proses perkenalan indranya terhadap benda-benda. Menurut Zamkamil, seorang pelukis yang juga aktif memberikan bimbingan menggambar pada anak-anak sejak 2015; proses menggambar anak tidak hanya bertujuan untuk membantu anak membuat atau menciptakan bentuk-bentuk indah dari kreasi tangannya, tetapi mereka juga belajar berbicara dan bercerita melalui gambar. Selalu ada cerita dalam gambar anak. Pada aktivitas gambar, anak-anak mengkomunasikan atau mengekspresikan pikirannya melalui berbagai pertemuan unsur visual.
Anak-anak menggambar apa yang disenanginya, setiap hal menarik akan digambarnya. Tidak ada anak yang tidak senang menggambar. Mungkin bagi orang dewasa anak yang sedang menggambar terlihat seperti sedang bermain, tetapi dalam permainannya anak sejatinya sedang belajar. Dalam pendidkan, menggambar menjadi sarana yang efektif dalam menumbuhkembangkan kemampuan berekspresi, berkreasi dan berpikir secara kreatif dan kritis.
Melalui menggambar, anak-anak melatih sensitivitas serta daya imajinasinya dalam mengungkapan responnya terhadap lingkungan sekitar. Proses kreasi menjadi wadah dalam menyalurkan emosi dan daya pikir anak dalam memadukan garis, bentuk dan warna. Menurut Primadi Tabrani, pembimbingan menggambar untuk anak (sesuai tahap tumbuh-kembangnya) dapat membantu menemukan serta mengembangkan kapasitas diri anak sebagai manusia. Anak yang berbakat nantinya dapat menjadi seniman hebat, namun apabila tidak, anak tersebut dapat menentukan pilihannya dimanapun ia berada. Dalam pendidikan, menggambar merupakan pembelajaran dasar bagi anak untuk dapat hidup di masyarakat secara selaras, sebab melalui proses kreasi dan berpikir secara kreatif, anak dapat mengenali diri serta menemukan potensinya sebagai seorang manusia.

Dalam proses kesenirupaan sendiri, seorang pelukis, ilustrator, pematung, ataupun performance artist tidak akan pernah melewatkan tahap belajar menggambar sebelum mereka memutuskan perannya dalam kesenian. Menggambar dianggap tidak hanya sekadar penorehan tinta pada kertas; menggambar merupakan tahap awal dan paling penting dalam peoses pengekspresian ide-ide seorang seniman. Menggambar merupakan perwujudan buah pikiran dan imajinasi manusia yang dapat diketahui secara visual keindahannya.
Secara teknis gambar atau drawing tercipta dari konfigurasi antar garis yang berpadu membentuk objek atau simbol. Tahap kreasi yang mengandalkan kemampuan melihat serta menganalisa bentuk dalam merepresentasikan wujud lebih detil. Sama halnya dalam pengembangan praktiknya diseni lukis classic, menggambar masih digunakan sebagai tahap awal membentuk ulang (re-sketch) objek lukis sebelum diberikan warna. Adapun garis yang tampak pada detil lukisan seperti contour, memperlihatkan pada kita bahwa pentingnya tahap menggambar dalam keseniarupaan. Pablo Picasso mengatakan bahwa āmenggambar sama halnya melukis dengan minim mediaā. Menggambar sama halnya medium seni rupa yang lain, bahkan merupakan dasar dari dimensi rupa itu sendiri. Marcel Duchamp menganggap bahwa gambar (drawing) merupakan hakikat dari seni rupa. Menggambar merupakan landasan utama dalam ilmu kesenirupaan.
Menggambar menjadi satu hal penting dalam mengangkat daya manusia sebagai seorang individu ataupun dalam masyarakat. Sebagai medium berkomunikasi dan bercerita, menggambar tidak hanya menjanjikan keindahan bentuk secara estetis, tetapi menjadi bentuk ungkapan atas realitas yang begitu luas. Dan seiring perkembangan kegiatan tersebut dipahami oleh manusia, menggambar akan terus hadir dalam berbagai macam pengembangan di kehidupan.
Menggambarkan sejarah
Manusia menciptakan serta mengembangkan simbol sebagai jembatan menemukan pengetahuan dan penafsiran yang lebih luas terhadap dunia. Simbol menjadi sangat penting sebagai perwujudan pikiran manusia terhadap fenomena yang berada dalam dirinya dan diluar dirinya, terutama saat dihadapkan pada kebutuhannya untuk terhubung antar sesama. Simbol dimanfaatkan untuk menciptakan keterhubungan anatar manusia; sebagai alat untuk berkomunikasi atau bahasa yang dipahami satu sama lain. Dr. Ryu Hasan berpendapat bahwa, secara alami otak manusia tercipta untuk saling bersaing dan simbol dimanfaatkan untuk mempengaruhi sekitarnya. Simbol berguna untuk menyamakan persepsi atau pengetahuan, terutama dalam menemukan kesepakatan dan bekerja sama. Untuk kelompok berskala besar, simbol bahkan dapat menjadi manifestasi dari bentuk yang diberikan sakralitas atau glorifikasi.

Simbol selain memiliki unsur bahasa, juga mengandung nilai atau kepercayaan yang dipahami individu ataupun kelompok. Di setiap daerah manusia menciptakan simbol atau bahasanya sendiri untuk menjelaskan suatu objek beserta maknanya. Pengaruh lingkungan yang berbeda-beda memberi manusia dalam memaknai serta menafsirkan suatu objek secara berbeda juga. Dari beragamnya sudut pandang dalam mengenal dan mengetahui itu, beragam juga kebiasaan atau praktik budaya itu lahir. Hans J. Daeng mengelompokkan cakupan dari kebudayaan atas tiga wujud, yaitu budaya sebagai himpunan atau gagasan tentang kehidupan dan maknanya; budaya sebagai sejumlah perilaku berpola utamanya dalam keterhubungan antara sesama manusia; dan budaya sebagai sekumpulan benda atau artefak yang diciptakan oleh manusia. Namun walaupun dari beragamnya perbedaan itu, setiap budaya memiliki nilai yang sama.
Seorang sosiolog dan penulis bernama Syamsudin Simmau berpendapat bahwa, sejatinya budaya itu memiliki nilai universal. Setiap tradisi didasari oleh nilai baik-buruk yang sama dan tujuan penciptaan yang sama. Perbedaan yang melatar belakangi beragamnya pemaknaan dan praktik kebudayaan yaitu pada keterbatasan manusia untuk membahasakan atau mengimplementasikan nilai sebagai tindakan yang dapat dimaknai secara sederhana, terutama dalam berkomunikasi secara lisan atau tulisan. Bahasa ākataā yang dimiliki manusia untuk menyampaikan gagasan masih menjadi tantangan tersendiri hingga hari ini, yaitu pengaplikasiannya yang masih mudah terjadi distorsi dalam memahami konteks dari bentuk objek.
Apabila kita menarik mundur waktu ke masa prasejarah, pada masa nenek moyang kita bahkan belum menguasai cara berbahasa lisan; layaknya fase perkembangan anak manusia modern yang hanya mampu menguasai satu dua kata. Dimulai dengan coretan sensasi jemari tangan atau kaki pada suatu bidang (macaroni), merupa imaji menjadi bentuk yang disepakati antar sesama. Nenek moyang kita menemukan cara berkomunikasi yang efektif dengan penggambaran objek-objek sederhana dan mudah mudah dipahami. Cara berkomunikasi tersebut merupakan komunikasi dengan bahasa tanda, atau dapat disebut sebagai bahasa visual atau bahasa rupa.
Dalam buku āBahasa Rupaā, Primadi Tabrani menjelaskan bahasa rupa yang diciptakan nenek moyang kita dulu merepresentasikan bentuk visual sebagai gambar bercerita. Apa yang membuatnya menjadi efektif ialah bagaimana ia diceritakan. Contohnya dalam bahasa kata kita dapat menjelaskan bahwa kerbau merupakan hewan bertanduk dengan badan besar, namun pada sudut pandang lain dapat dijelaskan sebagai hewan berkaki empat pemakan rumput. Atau pada penyebutannya secara kedaerahan, kita dapat menemukan kata tedong (Bugis), kebo (Jawa), keubeuĆ« (Aceh) dan horbo (Madura) untuk menyebutkan hewan bernama kerbau. Bahasa rupa prasejarah tidak hanya sekadar mentrasfer image (wimba) objek yang ingin digambarkan sebagaimana bentuk objek aslinya, tetapi objek tersebut digambarkan memiliki sikap (tata ungkapan) ābermatra waktuā untuk menjelaskan subjek, predikat, objek ataupun predikat sebuah cerita. Maka apabila āobjekānya adalah kerbau, maka kerbau tersebut akan digambarkan sebagaimana kerbau itu berwujud dan keadaan pada sang kerbau tergambarkan pada gastur yang digambarkan. Dalam gambar bercerita kebau berperan sebagai āsubjekā atas sikap atau tindakan yang direfleksikan pada gambar.
Menurut Primadi, gambar prasejarah pada dinding cadas bagaikan sebuah buku pintar dari masa lalu. Dari gambar prasejarah, kita dapat membaca setiap unsur visual yang dihadirkan, serta melebarkan berbagai asumsi atas kesatuan cerita yang tampak apa adanya. Entah sengaja atau tidak, gambar-gambar tersebut diciptakan pada tempat yang terjaga hingga dapat ditemukan oleh manusia saat ini. Dimulai dari penemuan pertama di Alatmira Spanyol, pada tahun 1879 hingga penemuan peninggalan tertua di dunia pada tahun 1950, di daerah Leang-Leang, Kabupaten Maros. Gambar-gambar yang diciptakan nenek moyang kita 3000-8000 SM itu dapat dimaknai sebagai wujud spiritualitas dan intelektualitas yang telah terabadikan sejak lama untuk dapat ditemukan anak cucunya sekarang.

Perjalanan kehidupan manusia begitu panjang, hingga nenek moyang kita telah berkembang lebih maju. Saat aktivitas berburu pengumpul mulai ditinggalkan, menciptakan pertanian dan menetap. Sebagai masyarakat agraris, manusia telah mengenal rumah dan melindungi apa yang menjadi kepemilikannya. Menciptakan pemukiman, membangun bebagai peradaban. Bahasa gambar yang sebelumnya dapat diinterpretasi secara sederhana menjadi demikian berkembang pada wujud yang lebih abstrak, sebagai bahasa tulisan. Namun perkembangan itu juga selaras dengan berkembangnya kemampuan manusia dalam mengolah simbol-simbolnya; selaras dengan semakin hebatnya manusia mengolah kata, menciptakan hubungan antar sesama, dan mengolah sekitarnya sebagai benda; selaras juga dengan semakin kopleksnya kehidupan yang dijalaninya.
Seperti kata Pramudya Anantaoer, āmanusia boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan sejarahā. Begitu banyak masa kejayaan yang dialami manusia, namun hanya yang telah ditulisakan atau telah tergambarkan mengabadi dalam sejarah. Hanya dengan ciptaanyalah manusia dapat di kenal bahkan dikenang. Kreasi merupakan perwujudan eksistensi manusia.
Sejarah menggambar
Sebagai medium dalam berkomunikasi, kegiatan menggambar sejak dulu telah mewakili setiap praktik budaya ataupun kepercayaan yang dianut manusia kapan dan dimanapun. Hingga sebelum abad ke-14, menggambar mulai menemukan ranah kebebasannya untuk menghadirkan keindahan tanpa tujuan diluar āartistikā itu sendiri. Idealitas pada masa itu tercerminkan pada eksekusi yang terstruktur mengikuti gaya pictorial dan detail yang diutamakan. Terbaginya beberapa bidang khusus seperti pelukis, ilustrator dan arsitek saat itu, praktik menggambar menjadi kemampuan dasar dalam pengembangan kemampuan tersebut. Dan pada abad ke-17, berkat inisiatif Agustino dan Annibale, menggambar mulai diujicobakan dalam proses pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran tersebut ditekankan kebakuan teknik penggambaran objek visual perkembangan seni rupa klasik (classical drawing).
Pada abad ke-18, seni rupa menemukan titik mapannya sebagai kegiatan yang terlepas dari ranah kesehari-harian sesuai dengan masa perkembangan sebelumnya, telah dianggap sebagai praktik āberkesenianā (way of art). Tema yang digambarkan bukan lagi seputar kisah dewa-dewa ataupun peristiwa keagamaan, namun mencakup keidupan secara langsung atau kehidupan masyarakat sosial secara luas. Tujuan penciptaannya semakin menuju pada ekseprsi manusia secara bebas hingga pada abad ke-19. Dengan membawa semangat pencerahan dan revolusi prancis yang berupaya mengubah tatanan lama pada kebaruan memandang keindahan sebagai mana mestinya, tanpa dilebih-lebihkan. Menggambar sebagai proses utama kesenirupaan menjadi dasar dalam menghadirkan hasil pencarian esensi ākebenaranā melalui kreasi visual.
Di dalam arus perkembangannya, kesenirupaan terus mencoba melahirkan realitas-realitas baru dalam memandang cakrawala kehidupan, sekaligus sebagai perlawanan terhadap dominasi kaum borjuis saat itu. Seni menjadi alat politik, proses kreasi digerakkan dalam upaya pembebasan terhadap kebakuan paham keindahan yang terpusat pada objeknya. Terutama dengan teknologi yang mulai berkemang, popularitas āfotografiā menjadi salah satu pendorong para seniman menemukan keyakainan bahwa esensi keindahan tidak hanya sekedar pada keseriusan penciptaan bentuk secara detil (subject-matter), tetapi melalui karya itu senidiri.
Dalam Britannica Encyclopedia, Abad ke-20 menjadi era dimana menggambar dianggap sebagai bentuk karya seni yang lebih otonom dibandingkan bidang seni lain. Perkembangan yang didasari atas gagasan kritik formalis (formalist criticism) dan semakin luasnya gagasan atas paham modernisme (modernism), mempengaruhi praktik menggambar secara luas dan menjadikannya sebagai ekspresi yang bersifat individual secara teknis. Upaya dalam menghadirkan bentuk ānon-represensionalā juga menunjukkan bahwa seniman-seniman saat itu telah berpaling dengan memisahkan diri dari representasi estetis menirukan alam (mimetic). Perkembangan gambar secara teknis menjadi perjalanan dalam mencari keindahan yang sejati dan fungsinya sebagai medium.
Di Indonesia sendiri, menggambar masih dipertahankan sebagai praktik kebudayaan yang bersifat tradisional. Namun seiring waktu sudut pandang formalis menemukan titik temunya dengan seni kerakyatan yang telah berlangsung lama membumi dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Diyanto, kesenirupaan Indonesia tidaklah dapat dikatakan sebagai sebuah perkembangan disengaja menemukan kemapanannya dalam memaknai keindahan estetis. Sebagai bangsa yang telah terjajah, pemahaman atas seni rupa modern sangat dipengaruhi oleh berkuasanya Belanda pada abad ke-17. Walaupun kita mengenal nama Raden Saleh sebagai bapak seni modern Indonseia, perkembangan pemahaman yang terstruktur itu lebih dipengaruhi oleh berdirinya āBataviasche Kunstkringāā¦sebuah lembaga kebudayaan pemerintah Kolonial yang berdiri pada tanggal 1 April 1902. Lembaga tersebut mencakup berbagai bidang kesenian, seperti tari, musik, drama, sastra dan tentunya seni rupa (lukis). Dengan tersedia sarana berkesenian yang memadai saat itu, Diyanto mengansumsikan bahwa ruang tersebut kiranya dapat mempengaruhi pertemuan masyarakat Belanda kelas menengah dengan visi seniman yang cenderung memisahakan diri dari praktik kesenian tradisional. Praktik menggambar yang terpengaruh perkembangan tersebut, menciptakan upaya menghadirkan keindahan tropis dan kehidupan perkampungan sebagai penggambaran āmooi indieā (Hindia molek).
Tidak terlepas pula dengan hadirnya Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) sejak tahun 1937, dengan sengaja menghindari panggilan āsenimanā atau āpelukisā melainkan āahli gambarā. S. Sudjojono beserta anggota PERSAGI menentang para pelukis (mooi inde) yang menampakkan keindahan berdasarkan keterlenaan orang asing terhadap ke-eksotisan Indonesia tanpa memperhatikan bahkan ābersembunyiā dari realiats masyarakat sebenarnya saat itu. Idealitas PERSAGI dalam pengkaryaan merupakan proses berkesenian dengan menumpahkan kemurnian jiwa yang termanifes pada karya.
Gerakan berkesenian yang di bawa PERSAGI sangat berpengaruh dalam perwajahan kesenirupaan Indoniesia selanjutnya, yaitu perspektif dalam menyikapi āparadigma nasionalismeā. Begitupan pada perkembangannya pasca kemerdekaan Indonesia, semangat nasioalisme menjadi batu bara para seniman saat itu untuk ikut berjuang dengan caranya sendiri. Pada masa itu, praktik menggambar dikreasikan dalam menampilkan asprirasi masyarakat untuk menuju kemerdekaannya yaitu pada 17 Agustus 1945. Semangat tersebut termanifestasikan dalam poster-poster perjuangan. Gerakan Indonesia saat itu dapat dipahami sebagai gerakan kultural yang berjaalan beriringan dengan gerakan sosial.
Setelah kemerdekaan, praktik menggambar dalam kesenirupaan Indonesia mulai bangkit dengan gagasan-gagasan barunya, terlihat pada semakin banyaknya kelompok serta instituisi yang mulai terbentuk saat itu. Dinamika sosial, politik, dan ekonomi negara menjadi latar belakang laju perkembangan dialektika kesenirupaan Indonesia modern. Secara luas, pemahaman dalam memaknai dimensi kreasi menggambar dipandang dalam dua sudut pandang; sejalan dengan praktiknya, kemapanan dalam tradisi seni murni (fine art) telah terbangun sejak dulu atas keterhubungannya dengan paham modern. Proses penciptaan dilakukan dalam upaya memberikan jarak untuk dapat menghayati lebih dalam esensi yang terkandung; di lain hal, hadir upaya untuk menghilangkan batasan-batasan antara seni murni dan tradisi yang telah diwariskan oleh Barat.
Dengan semangat yang berpijak pada anti-lirisme, perkembangan pada masa itu diinisiasikan dalam upaya menghadirkan praktik kesenirupaan yang lebih bebas. Gerakan tersebut dapat dilihat sebagai pembebasan atas aturan serta pakem-pakem yang otonom sejak masa perjuangan, sekaligus memberikan keterbukaan berekspresi yang lebih beragam untuk memahami dan menciptakan karya. Dalam praktiknya, perkembangan ini mempertanyakan kembali keterhubungan seni dan masyarakat. Sejalan dengan perkembangan memahami medium seni rupa dan juga senimanya, istilah āfina artā kini berubah menjadi āvisual artā.

Kebaruan dalam praktik menggambar yang terus berkembang, tercerminkan pada perwujudan alternatif yang begitu beragam hingga sekarang. Tidak hanya sekadar dominasi garis pada bidang datar, medium menggambar terus berkembang melampaui aspek materialnya: gerak, getaran, bahkan cahaya dapat dipahami sebagai kreasi menggambar. Bergabungnya para perupa yang aktif berkesenian menggunakan medium menggambar (drawing) sebagai Forum Drawing Indonesia (FDI), menjadi upaya besar dalam menghargai aktifitas menggambar. Sejak 2018 berdirinya, perkumpulan tersebut menggelarkan pameran menggambar dengan mewacanakan hari menggambar tepat di tanggal 2 Mei, bersamaan dengan hari pendidikan. 2022 ini, FDI bersama 250 komunitas di 26 seindonesia menyelenggarakan pameran menggambar di masing-masing tempat di seluruh Indonesia, sesuai dengan asal komunitasnya, selam tanggal 14-31 Mei 2022. Mengangkat tema utama ālokalitasā, perayaan tersebut memberikan eksplorasi sebesar-besarnya dalam mengangkat kebudayaan serta wacana yang beragam dalam memaknai aktifitas menggambar di Indonesia.
Tulisan ini masih begitu singkat untung menceritkan perjalanan manusia dalam memaknai menggambar, tetapi yang dapat kita jadikan sebagai pemahaman tambahan dalam memaknai aktivitas menggambar ini, ialah dari menggambar manusia mempu mewujudkan daya berpikir yang berkerja sama dengan daya ciptanya. Dimulai dari menggambar manusia melahirkan peradaban dan menuliskan sejarahnya. Menggambar samahalnya dengan menulis, yaitu sebagai perwajahan pikiran manusia (kreatornya) dalam mengantarkan pengetahuan atas realitas kepada para pembacanya. Membuka cakrawala dalam melihat dunia yang begitu luas dengan keserba mungkinan.
Diyanto. 2013. Seni Lukis dan Obsesi Abadinya. Untuk Apa Seni? (2) 47-111.
Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Budaya dan Lingkungan. Celeban Timur: PT. Pustaka Pelajar Offset.
Tabrani, Primadi. 2012. Bahasa Rupa. Bandung: Penerbit Kelir.
https://www. britanica.com/art/drawig-art/
http://sica.asia/2018/04/merayakan-hari-seni-menggambar-indonesia/





Komentar