Menerima Perbendaan dalam Bingkai Seni
- merupajalanseni
- 12 Feb 2022
- 4 menit membaca
Alif Aflah Yafie
23 Januari 2022, Artmosfer hari itu kembali ramai dengan perayaan apresiasi setelah dilaksanakannya pameran Ammaku’ 22 Desember 2021 kemarin. Namun, ada suasana baru saat kembali kesana. Ruang kreatif yang dikelola Jenry Pasassan itu terasa penuh dengan semangat para pemuda, semangat dari siswa-siswi SMA di Sulawesi Selatan. Semangat tersebut terajut dalam kegiatan lokakarya dan pameran yang diselenggarakan oleh CREATE Moment!.

Bertajuk “Provincial Art Exhibiton”, merupakan rangkaian acara yang dilaksanakan ditiga provinsi sekaligus. Selain Sulawesi Selatan, kegiatan ini terlaksana juga di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur dengan tujuan memberikan ruang eksplorasi dan berkreasi dalam merespon isu toleransi, keberagaman dan kesetaraan gender. Kegiatan tersebut berlangsung dari tanggal 20-24 Januari 2022.
Saat menyelami ruang pamer, Saya ditemani Asrul Adi Musa, Muh Wildan Fatari dan Nur Ismi Arafah. Mereka merupakan peserta yang karyanya terpajang pada pameran tersebut. Mereka dan peserta lain turut mendampingi para pengunjung pameran dalam melihat karya-karya yang terpajang. Mereka mengatakan bahwa, karya-karya mereka merupakan refleksi dari pengalaman dalam melihat atau merasakan secara langsung tindakan diskriminasi di lingkungan sehari-hari. Bentuk-bentuk diskriminasi tersebut diantaranya seperti diskriminasi pada gender, fisik, usia, tubuh, agama ataupun ras.

Dalam penyajian karyanya, Saya terkejut beberapa karya yang terpajang merupakan karya instalasi, padahal setara pendidikan S1 Seni Rupa di Makassarpun belum tentu mampu untuk menciptakannya. Karya instalasi berjudul “Sepatu peremupan” menampilkan keresahan Lindan Malik terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Karya tersebut menampilkan figur manusia berwarna biru dengan simbol laki-laki pada wajahnya. Figur tersebut dibuat tertindih oleh sebuah gumpalan kertas penuh tulisan. Bentuk tersebut menggambarkan beban yang dipikul seorang perempuan begitu berat. Pada karyanya, Wildan mengajak untuk mengandai bagaimana kalau segala tuntutan dan sangsi sosial yang diterima perempuan menjadi berbalik pada laki-laki. Di bawah figur itu terdapat sebuah kubus bertuliskan “Laki-laki adalah makhluk setengah dewa dan setengah dungu… Dipuja namun dianggap tak pantas disaat yang bersamaan”. Karya tersebut seakan menghancurkan superioritas dari seorang laki-laki, dimana laki-laki ternyata tidak benar-benar kuat dan mampu atas segalanya, mereka memiliki sisi lemahnya sendiri.
Melihat buah pikiran mereka pada karyanya, Saya menyadari bahwa setiap orang memiliki perbedaannya tersendiri. Tidak sebatas pada apakah seorang itu laki-laki ataupun perempuan, setiap manusia memiliki sisi kuat dan lemahnya masing-masing. Namun kesetaraan tersebut kadang tidak mudah ditemukan secara langsung disebabkan telah mengakarnya standar yang melatar belakangi seorang individu apakah dapat diterima ataupun tidak pada lingkungannya. R. Fibbi dalam buku “Migration and Discrimination” menjelaskan bahwa konsep kesetaraan masih belum dipandang secara luas bahkan pada fase awal modern. Pada masa sekarang, masih akrab kita temui pemberian standar pada sebuah kelompok. Manusia akhirnya cenderung mengikuti standar tersebut agar dapat diterima secara sosial, namun kecenderungan tersebut dapat mengakibatkan hilangnya kekhasan dari dirinya sendiri atau krisis identitas.

Ilhamsyah HB berjudul “Rammang Kekke’”. Figur manusia penuh lakban yang melilit setiap sisi tubuhnya. Begitu erat lakban tersebut mengikat, hingga tubuhnya tidak dapat bergerak dan menempel pada dinding. Lakban-lakban tersebut dipenuhi dengan kata-kata “bencong”, “cowok kok nangis” atau “kenapa jabe sekali”. Bentuk tersebut menjelaskan bagaimana seorang laki-laki tidak mampu menemukan kebebasannya dalam berpendapat dan berkspresi. Ia terikat pada lingkungan yang menuntut seorang laki-laki sepenuhnya harus memiliki sifat maskulin atau toxic masculinity, diharuskan menjadi pribadi yang kuat, keras dan tidak boleh lemah. Dari karyanya ini, Ilham mengajak penikmat karyanya dalam menggali kembali potensi diri tampa harus didasari oleh pendapat orang lain. Tangan yang keluar dari badan figur, menggambarkan perlawanan terhadap setiap tuntutan dan pelabelan dari luar dirinya.
Menggali potensi diri dan berani berekspresi bukanlah hal yang mudah. Dalam melahirkan kesadaran untuk melakukan sebuah perubahan, diperlukan proses mengenal diri sendiri agar dapat menerima segala kekurangan dan melepaskan kekhawatiran yang membelenggu. Karya M. Alfarizy Zalam berjudul “My Self”, menghadirkan pendapatnya tentang dirinya dan lingkungan yang membentuknya. Pikiran tersebut direalisasikan dalam bentuk kolase. Karyanya tersebut dapat dimakani sebagai bentuk damai dengan dirinya sendiri, menerima setiap kekurangan dan perbedaan didalam dirinya. Karya tersebut memiliki menggambarkan toleransi pada diri sendiri.
Walaupun beberapa karya terlihat menghadirkan objek yang terinspirasi dari karya-karya populer di media sosial. tetapi setiap karya yang terpajang memiliki kekhasan tersendiri dari daya ungkap pesannya. Memanfaatkan seni sebagai medium menceritakan pengalaman dan pendapat, Bambang Sugiharto dalam bukunya “Untuk Apa Seni?” menjelaskan bahwa kebenaran yang ingin diungkapkan dalam seni bukanlah kebenaran dalam arti doktrin, dogma, rumus, keyakinan atau segala sifat konvensional, melainkan sebaliknya dan bahkan bertabrakan dengan norma. Seni menciptakan realitas-realitas yang awalnya tersembunyi untuk menjelaskan kebenaran secara nyata dan penuh kemungkinan. Maka dari itu, kebenaran yang ingin diungkapkan dalam seni ialah berbagai sisi lain dari realitas. Pengalaman, keresahan dan pendapat yang disalurkan pada karya-karya mereka, merupakan upaya mengahadirkan makna-makna baru dalam melihat kehidupan. Kesadaran-kesadaran baru dalam menumbuhkan empati antar sesama dan menciptakan kesetaraan.

Toleransi bukan hanya sekadar menghormati apa gendernya, fisiknya, agamanya, rasnya atau segala latar belakang seseorang. Tetapi menerima dan menghargai manusia sebagai manusia. Seperti karya puisi Nur Ismi Arafah berjudul “Berbeda itu Indah”.
Terbentang luas kekayaan bangsa
Beragam jiwa dalam satu bendera
Negeri ini dipenuhi dengan keberagaman
Tapi, ini benteng kuat
Kita berbeda
Aku dengan agamaku
Kamu dengan agamamu
Berbeda bukan suatu hambatan
Di sisi lain kau ingin berteriak
Lindungi budaya!
Tapi manusia sendiri kau acuhkan
Kau menganggap keyakinan orang lain tak lebih suci
Inilah kita apa adanya
Bhineka tunggal ika menjadi panutan
Berjuta langkah dalam satu tujuan
Berbeda namun tetap satu jua
Dalam satu kehidupan
Terpisah keegoan
Mari bergandengan tangan
Indahnya perbedaan
Bila disikapi penuh kasih sayang
Berbeda bukan suatu dosa
Toleransi menyatukan kita
Hidup damai dan bahagia





Komentar