Mengingat yang Terlupakan; Semangat dalam Berkarya
- merupajalanseni
- 30 Des 2021
- 4 menit membaca
Diperbarui: 10 Okt 2022
Penulis: Alif Aflah Yafie

Siang hari, sekitar 13.30 WITA. Saya berkunjung ke Rumata’ Art Space menghadiri kegiatan pameran studi akhir Mahasiswa Prodi. Pendidikan Seni Rupa UNISMUH Makassar. Sabtu 19 Desember 2021 merupakan hari terakhir dari pameran yang telah berlagsung dari 17 Desember 2021.
Pameran ini bertajuk “Renjana”. Renjana memiliki arti semangat dan dorongan kuat pada suatu ide atau tujuan. Tajuk tersebut digunakan untuk mewakili keresahan serta gairah lima perupa dalam berkarya, terutama setelah wabah Covid-19 yang banyak membatasi ruang bergerak sejak awal 2020 kemarin.
Membaca catatan kuratorial Muhammad Gazali, menerangkan fenomena pandemi ini mengantar kita untuk menciptakan cara-cara baru dalam menghadirkan ruang kreasi dan apresiasi alternatif. Dengan mengandalkan teknologi digital, lahirlah pameran berbasis virtual sebagai ruang pamer yang dapat menembus jarak, ruang dan waktu. Segala aktivitas itu akhirnya disederhanakan menjadi bentuk program yang dapat diakses dengan telepon genggam saja. Namun dari kemudahan tersebut, lahir juga kerinduan atas pertemuan dan kesadaran bahwa pengalaman mengapresiasi secara langsung (non-virtual) akan lebih berkesan daripada secara virtual. Dari kesamaan perspektif ini, maka kegiatan tersebut dapat terselenggara. Lima perupa tersebut memamerkan 30 karya ilustrasi dengan ide serta gagasan berbeda dalam berkarya. Karya-karya tersebut disatukan dalam tema “Yang Terlupakan”.

Ahmad Fahmi menghadirkan potret tokoh-tokoh antagonis dari kisah perjalanan Nabi dan Rasul. Dalam karyanya, Ahmad Fahmi menawarkan sudut pandang berbeda dalam memaknai dan meneladani kisah para Nabi dan Rasul. Yaitu dari perspektif musuh-musuhnya. Seperti karya “Namrudz Bin Kan’an”. Namrudz Bin Kan’an merupakan nama seorang raja dalam kisah Nabi Ibrahim AS. Raja Namrudz diceritakan sebagai sosok penguasa yang somong dengan menganggap dirinya sebagai tuhan. Dari kesombongannya itu, Nabi Ibrahim AS dikisahkan selalu menantang dan melawan kekuasaan raja itu. Raja Namrud digambarkan gagah memegang tongkat kekuasaannya, dengan patung-patung berhala yang diberdirikan kokoh dan gambar peta sebagai daerah kekuasaannya sebagai latar. Perlawanan Nabi Ibrahim AS digambarkan pada sosok yang digambarkan berada dalam kobaran api. Gambar tersebut menceritakan mujizat Nabi Ibrahim yang tidak terbakar api setelah menerima hukuman Raja Namrudz.

Tanah Toraja merupakan daerah ikonik di Sulawesi Selatan, dengan keragaman budaya dan alamnya menjadi tempat destinasi wisata yang sering dikunjungi. Namun para pengunjung umumnya hanya sekadar menikmati tanpa memaknai apa yang terkandung di dalamnya. Saktiraja Putra Suweri Gading menangkap fenomena itu, dengan mengangkat bentuk dari ragam hias, benda pusaka dan adat, serta hewan-hewan kepercayaan, Sakti menghadirkan wujud Toraja yang belum pernah diketahui oleh orang umum. Seperti “Pa’manuk Londong”, karya yang menggambarkan ayam jantan sebagai objeknya. Wujud Ayam dipercaya sebagai simbol peradilan dan wujud kepemimpinan seorang raja yang bijaksana di Tanah Toraja. Terlihat ayam berwarna hitam dan putih dikedua sisi gambar dapat dimaknai sebagai penentuan pilihan benar dan salah. Dengan kertas yang kecoklatan setelah dibasahi kopi, menciptakan keenam karya tersebut terlihat seperti sebuah peninggalan masa lalu.

Amsir mengimaji dan merealisasikan kehidupan hewan-hewan setengah kadal yang pernah hidup di dunia. Berangkat dari kecintaanya dalam mengoleksi mainan dinosaurus-dinosaurusan dan menonton film Jurasic Park saat masih kecil. Dari karya ilustrasinya, menghadirkan para predator-predator kecil seperti karya “Velociraptor” hingga yang terbesar seperti “Sang Raja T-Rex”. Amsir menceritakan kompleksitas dari kehidupan figur hewan-hewan kecintaannya itu. Seperti pada karya yang menceritakan Triceratops sedang melawan T-Rex. Kisah tersebut diwujudkan dalam karya “Mempertahankan Hidup”. Adapun karya “bersantai” yang menceritakan kehidupan sehari-hari para predator saat beristirahat dengan anak-anaknya.

Ardiayansyah mengangkat tema “perempuan” dalam karya ilustrasinya kali ini. Karya berjudul “Frustasi” mengilustrasikan kekecewaan perempuan terhadap kehidupan. Wajahnya dibuat berbayang mengarah kedepan dan menyamping, seakan tidak menerima peristiwa yang terjadi dikehidupannya. Dengan lemah ia mengakat tangannya untuk menolak kenyataan yang harus dihadapi. Karya berjudul “Perempuan Iblis”, menampilkan sosok perempuan yang persis dengan judulnya. Perempuan itu dibuat bertanduk, dengan mata putih dan taring yang keluar dari belahan bibirnya. Burung-burung sampai beterbangan karena takut pada kengeriannya. Pada latarnya tersambar petir-petir yang keluar dari bola berwana putih. Dari kedua karya tersebut, Ardiansyah menghadirkan dua sudut pandang dalam melihat keseluruhan karyanya. Yaitu perempuan yang umumnya dipandang sebagai objek lemah dan selalu menjadi korban janji-janji dunia, namun disisi lain perempuan juga akrab menjadi pelaku dalam memberikan rasa sakit. Gagasan tersebut hadir setelah menjalani proses diskusi dengan teman perempuannya.

Saat Muh. Iqbal mengetahui Mark Zuckerberg mengidolakan ilmuan muslim bernama Al-Qwarizmi, penemu aljabar dan angka 0. Ia erinspirasi untuk mengangkat tokoh-tokoh ilmuan muslim di dalam karyanya. Dengan memanfaatkan medium digital, Muh. Iqbal menciptakan desain ilustratif untuk memperkenalkan tokoh-tokoh penemu pada enam karya grafis berukuran 40x60 cm. Bukan hanya potret dari sang ilmuan saja yang ditampilakan, pola geometris, angka-angka dan ilustrasi biologi dimanfaatkan untuk dapat menjelaskan penemuan serta bidang apa mereka berkecimpung. Seperti ilustrasi organ mata dan pola kerjanya dalam menangkap refleksi cahaya. Bentuk tersebut dibuat sebagai pelengkap potret seorang ilmuan optik pada karya yang berjudul “Ibnu Haitham”. Dari karya-karyanya, Muh. Iqbal menjelaskan bahwa tidak melulu negeri barat yang menjadi pusat ilmu pengetahuan. Sangat banyak penemuan-penemuan besar yang lahir dari rahim timur, utamanya dari peradaban islam.

Saya melihat semangat para perupa dalam karaya-karyanya. Gagasan dari setiap karya juga dapat saling terhubung dengan tema, yaitu sama-sama ingin meceritakan serta menghadirkan sudut pandang yang mungkin saja belum diketahui masyarakat umum. Mengangkat kembali kisah-kisah “yang terlupakan”. Membuka kembali cakrawala dalam melihat dunia. Walaupun pada beberapa karya masih digarap kurang rapi, keseluruhan kegiatan tersebut dapat tergarap dengan baik. Di hari ketiga, Saya masih sempat hadir dalam kegiatan diskusi bersama kala itu. Menghadirkan pembicara seniman Muhammad Suyudi dan Co-Kurator Jalaluddin Rumi. Muhammad Gazali membawa jalannya diskusi sebagai moderator. Diskusi tersebut mengangkat topik “kesenirupaan Makassar”. Dalam diskusi tersebut, sempat dijelaskan bahwa ada empat aspek yang mendasari perkembangan lingkungan seni disuatu daerah. Aspek pertama yaitu kehadiran seniman dan karya-karyanya; aspek kedua ialah lahirnya komunitas-komunitas kesenian yang berperan memperluas jejaring pertukaran pengetahuan; aspek ketiga yaitu adanya ruang dalam mengapresiasi; aspek keempat yaitu bagaimana lingkungan mendukung ekosistem dari ketiga aspek tersebut. Untuk tau lebih dalam tentang hal ini, Jalaluddin Rumi menyarankan untuk membaca “Makassar Biennale dan Proyeksi-proyeksinya” karya Anwar Jimpe Rachman.

Dari pengalaman ini, saya ingin mengangkat pendapat seorang filusuf bernama Heidegger, menurutnya seni dapat menampilkan yang tadinya tersembunyi dan menjelaskan yang sebelumnya masih samar-samar. Bukanlah “keindahan” sebagai tujuan utama dalam seni, tetapi menjelaskan “kebenaran”. Maka dengan berlangsungnya kegiatan-kegiatan kesenian sejatinya dapat memberikan pandangan-pandangan beru terhadap kebenaran itu. Menyuburkan kembali hidup yang kekeringan makna.





Komentar