top of page

Meta Rupa Leang-Leang

Tinjauan Interaksionisme Simbolik dan Antilogosentrisme terhadap Seni Instalasi MAIM, Spirit Leang-Leang: Melampaui Rupa Memaknai Nilai Sejarah


Syamsuddin Simmau

Sosiolog & Peneliti Fenomena Sosioal


Langit baru saja cerah sore itu. Tiba-tiba, mendung lalu gerimis. Ketika itu, Juli 2020. Saya merasa memasuki sebuah wahana estetik. Sebuah tempat berwarna; ada cahaya, terang gelap, garis, titik-titik, bingkai dan aneka bentuk dari tafsir seniman terhadap lingkungan dan batinnya. Saya merasa hidup kembali setelah ā€œterpenjaraā€ dalam lingkungan akademik selama sepuluh tahun, sejak tahun 2010-2020. Ini momen di mana saya merasakan kemerdekaan yang lama terbelenggu. Achmad Fauzi, perupa yang saya kenal sekira tahun 1993 silam di IKIP Ujungpandang kembali bersua di studio seni rupa FindArt. Saya masih memiliki kawan berbicang di luar ruang kampus. Ada pula perupa Ahmad Anzul di FindArt ketika itu. Ahmad Anzul saya kenal sekitar tahun 1995 di Pasar Seni Benteng Somba Opu kala itu.

Ketika itu, saya merasa, ingatan-ingatan saya bagai senar gitar yang dipetik kembali, menembang lagu-lagu conutry tahun 90-an. Perbincangan sebagai sahabat berlanjut, menyusun peristiwa-peristiwa estetik yang telah saya lalui. Semua terasa hadir kembali.


Dua perupa ini (Achmad Fauzi dan Ahmad Anzul, dalam bincang tatap muka kami, mengisahkan banyak peristiwa dan perkembangan seni rupa di Makassar. Saya tidak mengemukakan hasil perbincangan kami di sini. Tapi saya bermaksud mengisahkan tentang pertemuan-pertemuan saya selanjutnya dengan perupa yang berkumpul di Makassar Art Initiative Movement (MAIM). Karena dua perupa ini, ketika itu, sedang mempersiapkan Relly #I Pemaran Seni Rupa MAIM yang dilaksanakan pada 12 September 2020 di FindArt. Bermula dari even inilah saya kembali intens berbincang dengan sahabat lama, yaitu; perupa Amrullah Syam, Budi Haryawan dan Jenry Pasassan. Momen ini pula yang sekaligus menjadi mula perkenalan saya yang kemudian intens berbincang dengan perupa Faisal Syarif, Muhammad Suyudi dan Yuli Avianto.


Bermula dari 12 September 2020, tatap muka saya dengan perupa MAIM semakin intens. Saya menyebutnya keberlanjutan pergulatan akademik saya di luar gedung dan ruang-ruang kampus formal. Sungguh, saya menjadi peserta pembelajar yang mengaktifkan diri di sini. Saat, tulisan ini saya susun, proses pembelajaran saya dengan MAIM sudah satu tahun satu bulan. Kalau diumpamakan dengan kalender akademik formal maka saya sudah menempuh pembelajaran dua semester. Kini, saya kembali ditunjukkan suatu momentum rupa yang penting saya kemukakan, yaitu even proses kekaryaan perupa MAIM. Proses penciptaan karya para perupa berlangsung sejak Agustus 2021. Peristiwa ini bertema, ā€œSpirit Leang-leang: Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah.ā€ Saya berterimakasih karena dibukakan ruang berbagi di sini.


Konsen saya pada studi fenomen sosial mengubungkan saya dengan perbincangan yang penuh dialektika. Selama kurang lebih satu decade tarakhir, saya mendapat kesempatan menggeluti Sosiologi secara akdemik. Oleh karena itu, tulisan saya ini merujuk pada pengalaman akademik saya dalam bidang sosiologi dalam memaknai proses berkarya dan konsep-konsep yang dikembangkan perupa MAIM pada even ini. Bagi saya, proses berkaya perupa dan karya mereka merupakan fenomena sosial. Oleh karena itu, saya memandang urgen untuk mendeskripsikan pikiran saya di sini.


Penting saya kemukakan bahwa keterlibatan saya di proses para perupa MAIM adalah inisiatif saya untuk melibatkan diri dalam mengamati proses yang berlangsung sampai pada beberapa seri diskusi tentang konsep-konsep yang dikembangkan dalam karya mereka. Bahkan, saya menyempatkan diri melakukan pengamatan lokasi, yaitu di Kelurahan Leang-leang Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros pada 30 Juni 2021. Selanjutnya, para perupa tersebut melakukan seri kunjungan ke lokasi taman prasejarah Leang-lenag untuk melakukan pengamatan, berinteraksi langsung dengan masyarakat setempat, pendalaman konsep, pemaknaan-pemaknaan untuk menemukan substansi karya yang mereka ciptakan. Proses yang dilakukan ini mengingatkan saya pada teori interasionisme simbolik Herbert Blumer yang merumuskan pikiran Mead tentang perilaku sosial (Baca Blumer, Syambolic Interaction Perspective and Method, 1969).


Terdapat lima elemen kunci dalam interasionisme simbolik, yaitu; self (konsep diri), action (tindakan), object (objek-objek), social interaction (interaksi sosial), dan joint action (tindakan kolektif), baca pula Poloma (Sosiologi Kontemporer, 2010). Konsep diri adalah konsep yang menegaskan bahwa seorang individu memandang dirinya baik sebagai subjek maupun objek dalam merespon objek-objek. Individu menyusun makna-makna yang menciptakan persepsi dan sikap. Berdasar pada konsep ini maka individu bertindak (action) terhadap objek-objek. Objects sendiri dimaknai sebagai keseluruhan materi maupun immaterial di luar diri individu yang direspon oleh individu itu. Respon terhadap objek-objek mendorong individu untu bertindak yang disebut interaksi sosial. Interaksi sosial ini kemudian mendorong individu untuk melakukan joint action (tindakan kolektif) berdasarkan makna-makna yang dari keseluruhan proses pemaknaan, tindakan-tindakan dan interaksi sosial.


Berdasar pada konsep-konsep interasionisme simbolik, dari perjumpaan tatap muka saya secara langsung yang intens dengan para perupa MAIM, saya mengasumsikan bahwa Blumer benar dalam konteks tindakan individu. Individu dalam konteks ini adalah perupa MAIM. Asumsi yang saya bangun sebagai proposisi di sini berdasar pada tindakan-tindakan dalam proses penciptaan karya seni instalasi perupa. Di sini, perupa sebagai self mengontekstulisasikan asumsi-asumsi dan sikap diri terhadap peninggalan purbakal Leang-leang sebagai objek. Perupa melakukan tindakan pengamatan intens terhadap objek dan keseluruhan individu lain—yang bukan perupa—tapi memiliki keterkaitan dengan Leang-leang. Dalam hal ini, Leang-leang sebagai objects berkaitan dengan; masyarakat setempat, regulasi, kebijakan dan struktur yang ada. Selanjutnya, perupa melakukan interaksi sosial yang lebih luas untuk memperkuat konsep dan pemakanaan yang menjadi substansi karya seni yang diciptakan. Dari individu perupa dalam memaknai Leang-leang kemudian menjadi tindakan kolektif (joint action) dalam bentuk pameran karya seni instalasi bersama yang bertopik Leang-leang. Pemaknaan-pemaknaan para perupa yang awalnya bersifat individual dan otonom pada karyanya masing-masing menjadi sebuah pertunjukan yang berdasar pada kolektifitas. Sepuluh karya instalasi yang diciptakan bersifat individual, otonom, memiliki makna dan tafsirnya masing-masing. Karya-karya tersebut kemudian mewujud menjadi tindakan bersama untuk menyampaikan pesan dari peradaban kuno Leang-leang.


Tentusa saja, tidak cukup mengamati proses dan konsep karya para perupa MAIM tersebut. Terjadi diskusi yang berlangsung secara berseri dalam berkali perjumpaan kami sampai akhir oktober 2021. Menyelami makna karya seni instalasi perupa MAIM yang ā€œmelampaui rupaā€ mengingatkan saya pada pikiran Jacques Derrida tentang dekonstruksi (Baca Ritzer dan Goodman dalamTeori Sosiologi Modern, 2004). Derrida menegaskan pentingnya anti-logosentrisme; dimana logosentrisme ā€œmemaksakanā€ keterpusatan, keseragaman, bahkan pada keseragamaan pikiran tentang estetika. Logosentrime adalah wujud dari strukralisme. Dalam konteks ā€œmelampaui rupaā€ yang dipertunjukkan pada karya seni instalasi MAIM, menurut pikiran saya adalah rupa anti-logosentrime.


Karya Amrullah Syam, menggunakan idiom ā€œkaderaā€ yang berarti kursi. Idiom kursi ini melampaui rupa kursi pada umumnya. Di atas kursi yang tinggi, ada rupa batu marmer, ada pula cap tangan sebagai ciri Leang-leang. Idiom ā€œkaderaā€ menurut Amrullah Syam adalah manifestasi dari kekhawatiran dia terhadap kehancuran situs prasejarah Leang-Leang. Karena berdasarkan interaksi langsung dan pengamatan seniman ini, penambangan marmer telah terjadi secara massif di sekitar Leang-leang. Tambang-tambang tersebut sangat dekat dengan Leang-leang. Di sini, idiom kursi membawa penanda bahwa kekuasaan seharusnya melindungi dan mencegah kerusakan kawasan di sekitar kawasan purbakala tersebut tapi justru kekuasaan yang memberikan izin penambangan. Kekuasaan dalam bentuk penegakan hukum, penegakan regulasi yang prokonservasi dan hukum adat serta struktur sosial masyarakat seharusnya melindungi situs bersejarah tersebut.


Perupa Haroen P. Mas'ud yang mengunakan idiom alat musik gesek sinrili' (Makassar) yang tampak berbunga berupa awan-awan yang terus bertransformasi, berubah-ubah dan frame besar yang mengikatnya menjadi penanda transformasi yang berbahaya bagi keberadaan Leang-leang. Menurut Haroen, jika Leang-leang tidak dilundungi maka ia akan ditransformasi menjadi produk digital, berupa foto-foto yang hanya bisa disaksikan dalam bingkai-bingkai android, media sosial dan alat komunikasi lainnya. Generasi berikut tidak dapat lagi menyaksikan realitas Leang-leang yang ada saat ini.

Idiom-idiom fotografi seni rupa, ada televisi, foto-foto yang melampaui konsep karya fotografi pada umumnya digunakan perupa Goenawan Monoharto sebagai idom ā€œToā€ atau Tau (manusia). Bagi Goenawan, To seharusnya mengamban keberlanjutan peradaban manusia yang bermula dari peradaban prasejarah Leang-leang.


Ada rupa merupa tangan, melampaui bentuk tangan pada umumnya, bagai sayap yang siap terbang, merupa doa-doa yang menuju alam transenden. Ini adalah idiom-idom karya perupa Achmad Fauzi. Bagi perupa ini, simbol cap tangan di Leang-leang membawa penanda tentang doa-doa. Manusia prasejarah menempelkan tangan di gua (leang) untuk berkomunikasi dengan semesta, baik menerima energi maupun melepaskan energi.


Perupa Budi Haryawan menggunakan idom batu, api, dan jejak tapa kaki untuk menyampaikan penanda bahwa peradaban purba Leang-leang menjadi analogi kepunahan pedaban manusia. Eksplorasi dan eksploitasi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, atas nama; kemakmuran, kesejahteraan, dan kemuliaan peradaban manusia justru menjadi jalan kepunahan manusia. Karya ini menegaskan pentinga kesadaran kolektif tentang pentingnya pelestarian untuk kelangsungan peradaban manusia.


Idiom bambu, garam dan anyaman bambu merupa rahim terinstal dalam karya perupa Ahmad Anzul. Baginya, Leang-leang adalah energi dari sebuah keluarga. Energi itu membawa kelahiran-kelahiran baru. Oleh karenanya harus dijaga dan dilestarikan. Kekuatan masyarakat, menurut Ahmad Anzul bermula dari energi keluarga.


Ada material berupa tirai-tirai di Bumi, ada bola kawat besi bagi menggantung yang memunculkan rupa ā€œhatiā€ membawa penanda kekuatan cinta. Jejak kehidupan manusia purba Leang-leang menurut pemaknaan perupa Faisal Syarif adalah refleksi energi cinta Sang Maha Pencipta. Cinta adalah universalitas kemanusian yang mengakui adanya keagungan Sang Ilahi. Leang-leang adalah tanda yang ditunjukkanNya bahwa hanya dengan memupuk cinta maka peradaban manusia bisa berlanjut. Tanpa cinta peradaban akan binasa.


Komunitas Ruang Seni Kreatif Perempuan Makassar (Rempa) mencipta karya seni instalasi dengan melibatkan kelompok perempuan dan disabilitas. Menurut Nur Ikayani, koordinator Rempa, karya instalasi Rempa berjudul ā€œMemoryā€. Bagi komunitas ini, Leang-leang adalah penanda hubungan masa lalu dan masa kini. Masa kini tidak pernah mengada jika tidak ada masa lalu yang dapat ditemukan pada peraban prasejarah Leang-leang. Tentu saja, hubungan yang melampaui masa panjang itu terdapat dinamika konflik dan keharmonisan. Semua itu adalah keniscayaan. Oleh karena itu, jika Leang-leang punah maka terputuslah satu mata rantai peradaban manusia itu.


Ada susunan batu melingkar, bagai berputar, menciptakan energi untuk melindungi semesta. Idiom batu adalah penanda kars-kars yang melindungi Leang-leang. Bentengan kars adalah salah satu penanda kesemestaan dan kuasa ilahi. Dibutuhkan ā€œSang Penjaga Amanahā€ untuk menjaga kehidupan manusia di semesta ini. Tanpa penjaga manusia akan punah sebagaimana ditunjukkan dari peradaban kuno Leang-leang.


Leang-leang adalah penanda adanya muasal peradaban manusia. Peradaban itu melalui jalan takdir yang berliku, turun naik, menanjak dan menurun. Persoalannya tidak terletak pada rintangan berupa tanjakan, tebing-tebing dan jurang tapi pada bagaimana manusia menyadari muasalnya yang sederhana, tidak berlebihan. Kemusnahan justru terjadi pada keserakahan dan hidup berlebihan. Demikian, serpihan deskripsi perupa Muhammad Suyudi. Baginya, Leang-leang adalah satu fragmen keberlangsungan peradaban manusia yang bisa punah.


Penafsiran terhadap makna-makna, apalagi yang menggunakan idiom-idiom dekonstruktif, melampaui bentuk pada umumnya, sungguh berat dan tentulah mengundang perbedaan-perbedaan. Bagi saya, dekonstruksi Derrida membantu memasuki karya perupa MAIM yang ā€œmelampaui rupaā€, tak berpagar. Dekonstriksi memberi keleluasaan atas tafsir-tafsir formal pada umunya, misalnya teori-teori seni rupa. Di sinilah kesempatan saya menggunakan perspektif sosiologi untuk memasuki seni rupa yang melampaui, sebagaiman seni instalasi yang dicipta perupa dalam even MAIM. Meskipun saya, tentu saja, terbata-bata memasuki fenomena ini tapi saya merasakan energi estetik dalam pikiran saya. Semoga peristiwa ini dapat berlanjut pada masa mendatang. Dengan catatan, peristiwa seni seperti ini, sepatutnya diselenggarakan di sekitar Leang-leang. Sehingga, karya seni tidak berjarak dengan objek yang diamati dan dimaknai. Demikian halnya pelibatan masyarakat setempat menjadi catatan penting untuk peristiwa seni rupa. Terimalah tulisan ini dengan segala keterbatasan saya. (Syamsuddin Simmau; Sosiolog, Peneliti Fenomena Sosial, Bermukim di Makassar, email: Syamsuddinsimmau74@gmail.com)


ree

Ā 
Ā 
Ā 

Komentar


bottom of page