Seni dan Trauma
- merupajalanseni
- 29 Des 2021
- 5 menit membaca
Diperbarui: 30 Des 2021
Ditulis oleh: Alif Aflah Yafie

Pertengahan bulan desember, tepatnya tanggal 13 sampai 14 Desember 2021 Mahasiswa Institut Seni dan Budaya Indonesia Sulawesi Selatan (ISBI SULSEL) merespon kasus kekerasan yang tiap hari makin terdengar di telinga publik. Sempat dibicarakan di media sosial, dari kasus pemerkosaan terhadap santriwati oleh kepala pondoknya, pelecehan mahasiswi di beberapa perguruan tinggi, pemukulan terhadap anak oleh orang tuanya, atau pemerkosaan pada perempuan yang berakhir bunuh diri. Dengan tajuk āUnjuk Seni; BERITA TAā (Berbasis ceRiTA TraumA)ā, mereka mencurahkan pengalaman mengejutkan, menyakitkan, menyedihkan, menakutkan yang berakhir menjadi bentuk trauma. Mengambil ruang Galeri Rumataā Art Space sebagai wahana eksplorasi karya, menampilkan karya seni tari, musik, performance, film, instalasi dan lukis.
Dalam buku āTrauma dan Pemulihannyaā karya Dr. Kusmawati Hatta, M. Pd, menjelaskan saat kejadian traumatis terjadi pada seseorang, ia akan merespon dan mengatasinya dengan pertahanan diri sehingga tidak terdampak. Namun pada orang tertentu, kasus tersebut tidak dapat terselesaikan dengan mudah dan akhirnya dapat memberikan bekas luka menyakitkan dikemudian hari. Dalam keadaan tersebut, resiko terjadinya gangguan kesehatan mental seperti fobia, panik, depresi, kebingungan, keresahan (anxiety) dan obesesif-komplulisf dapat sangat mudah untuk dialami.

Tom Helder Camara, seorang pemimpin agama, pekerja sosial dan pejuang HAM. Berpendapat ada tiga bentuk kekerasan yang saling mengikat seperti spiral. Dimulai dari kekerasan yang bersifat personal (kekerasan No.1), berlanjut pada kekerasan institusional (kekerasan No.2) yang dipengaruhi atas respon pembelaan pada kekerasan no.1 dan kekerasan struktural (kekerasan no.3) sebagai bentuk pengamanan para pemilik kekuasaan terhadap kekerasan no.2. Tiga bentuk kekerasan tersebut akhirnya akan terus berulang kembali pada kekerasan personal. Dari pendapat tersebut, lahirlah pertanyan. Apakah kekerasan harus direspon dengan bentuk kekerasan juga? Dan bagaimana merespon kasus kekerasan tersebut?
Camara menjawab bahwa satu-satunya tindakan terbaik adalah keberanian dalam menatap ketidakadilan (dampak traumatis) yang diciptakan dari kekerasan nomor 1. Begitu juga kegiatan Mahasiswa ISBI SULSEL ini, menurut saya kegiatan tersebut merupakan bentuk pengelolaan kelompok dan ruang dalam merespon fenomena kekerasan ini. Bahwa kekerasan tidak harus diselesaikan dengan mengulang kembali kekerasan yang menjadi siklus spiral kekerasan tak berakhir. Pengalaman rasa sakit tersebut dapat tersalur menjadi proses menerima dan menyembuhkan. Salah satunya dengan berkesenian. Berikut merupakan pengalaman yang saya tulis saat hadir berdiskusi, melihat dan merasakan atmosfer kegiatan Unjuk Seni.

Saat kegiatan telah dibuka oleh Darwis dan Alful, alunan Tunrung Pakanjaraā mengantar dua pemuda telanjang dada masuk ke depan mata pengunjung. Salah seorangnya menyeret tubuh yang kepalanya dibalut kain dan matanya ditutup dengan plester berwarna kuning. Pertama-tama tubuhnya yang jongkok dililit dengan plester sambil berguling mengitari penonton, sambil menanyakan kebebasan dan keadilan itu apa. Seorangnya lagi, yang kepalanya ditutup dengan kain, tangannya dipaksa untuk diikat agar tidak dapat melawan. Pemuda dengan plester di tubuhnya melontarkan pertanyaannya pada pemuda dengan kain di kepalanya. Ia menjawab āSiapa disana? Saya tidak tauā. Penampilan tersebut pun ditutup dengan adegan menyeret kembali.
Performance tersebut dibawakan oleh Yayaā dan Abdullah Mursyid. Berjudul āTrauma Fisikā merefleksikan pengalaman dan perasaan tahanan penjara. Dimana kekerasan fisik akrab dilakukan dalam proses introgasi. Yayaā yang akrab disapa Komets juga menceritakan pengalamannya dalam medium lukis. Lukisan berseri tiga (trilogi), menceritakan tiga seri kehidupan yang dijalaninya. Paska ditinggalkan, paska mendekam dan paska menerima. Tiga karya lukis berukuran 180x80 cm berjudul āMasalah Waktuā.

Menutup sore, sesi menggambar bersama dimulai. Panitia menyiapkan kertas dan tinta cina sebagai media untuk para pengunjung menggambar. Kegiatan tersebut diberikan untuk menjadi wadah dalam berekspresi serta bercerita perihal trauma yang dimiliki. Kiranya dengan medium tersebut, para pengunjung dapat mencurahkan perasaanya yang tidak dapat tersampaikan dengan kata-kata. Seperti Aryo Bayu yang menggambarkan wujud ular raksasa. Ular tersebut terlihat seperti sedang merayap di tengah hutan. Saking besarnya ular itu, pepohonan-pepohonan tersebut tumbang mengikuti arus tubuh ular. Kata Aryo, ia ingin menggambarkan phobianya terhadap ular yang ia dapat ketika kecil. Gambar-gambar tersebut nantinya akan ikut dipamerkan di ruang galeri saat hari kedua kegiatan.
Hari pertamapun usai, kegiatan diakhiri dengan pemutaran dan diskusi film pendek Mahasiswa Tv dan Film. Adapun pembacaan puisi dari Ashabul Kahfi. Seorang penulis dan pemilik Kelana Artās Space.

Karya instalasi yang dikarsai oleh Afif dan Mancaā serta Himpunan Mahasiswa Desain Interior (HMDI) turut hadir mewarnai ruang galeri. āMenolak Hidupā memajang tiga kursi menggantung pada pohon; maneken kepala dibuat duduk pada salahsatu kursi. Benda-benda tersebut dililit dan digantung dengan dengan benang berwarana merah dan kuning. Mereka terlihat seakan mengambang di udara, tergantung dibawah pohon mangga. Karya tersebut merefleksikan keputusan seseorang untuk mengakhiri hidup dengan gantung diri. Keputsan tersebut disebabkan tekanan duniawi dan trauma pada materi. Melihat karya tersebut, Saya memahami bahwa walaupun bunuh diri adalah keputusan terakhir, tetapi itu tidak menyelesaikan apa-apa. Masalah itu akan terus ikut menggantung hingga kedalam kematian.
āMata Ke Ranjangā menggambarakan wujud kekerasan seksual yang tidak dapat terhindarkan walaupun di ruang publik sekalipun. Tampa mengenal ruang dan waktu. Karya tersebut menampilkan mata meneken kepala yang dihubungkan dengan maneken tubuh wanita menggunakan plester, hamburan pakaian, serta proyeksi ruang publik yang beganti-ganti sebagai latar. Saya merasa melihat sebuah adegan dalam karya tersebut. Dimana menampilkan seseorang yang hanya dengan melihat, ia mampu mencerai-beraikan segala pakaian dan apapun penutup tubuh seseorang. Dengan otak kenafsuannya, ia semaunya dapat menelanjangi tubuh wanita yang ada di depan matanya. Terlepas dari cerita berlebihan itu, saya sebagai laki-laki tersadar. Bagaimana pikiran dan cara melihat laki-laki terhadap perempuan dapat menjadi sesuatu yang mengerikan sekaligus menjijikan.

āB.Oā menceritakan wanita yang tidak dapat terlepas dari kebutuhan hedon atau kecanduan akan kesenangan duniawi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, menjual diri (open B.O) akhirnya menjadi pilihan praktis. Karya tersebut menghadirkan maneken setengah tubuh yang duduk pada kursi yang miring, terlilit plester-plester yang memenuhi sekitar tembok. Wajah maneken dibuat meleleh memperlihatkan isinya yang kosong.
Hari kedua, sempat dilanda hujan sebelum penampilan dimulai. Membuat para pengunjung berteduh dari pekarangan galeri yang mulai basah. Mahdi dan Darwis pun mempersilahkan kegiatan unuk dilanjutkan walau langit masih memberikan sisa-sisa gerimis. Dibuka oleh Agung dengan karya performance berjudul āLingkunganā. Dengan alunan lagu dari Slank yang berjudul āMemoryā, menghadirkan dirinya dikubur dengan tanah. Berlanjut saat ia bangkit, dengan membawa tubuhnya; dengan lusuh menuju meja dan kursi yang telah disediakan. Saat duduk, ia lantas melempar botol minuman hingga pecah. Bungkusan-bungkusan obat itu hanya digenggamnya dan diremas. Plaster ia gunakan untuk melilit kepalanya hingga tidak dapat melihat. Dengan begitu, ia meraba ruang sekitar hingga menemukan sebuah gerabah berisi air. Dibasuhlah tubuhnya dan performance tersebut selesai. Karya tersebut menceritakan perjalanan seseorang dalam membawa keresahan dan bagaimana peran lingkungan sebagai pembentuk dirinya dalam mencari jawaban-jawaban atas keresahan yang dihadapi itu.

Disambung setelahnya, Pak Desa menampilkan ketakutannya pada dunia sekitar. Terlihat ia terduduk dan menutup kepalanya dengan pakaian yang digunakannya. Ia seakan ingin menyembunyikan dirinya agar tidak dapat terlihat oleh mata pengunjung yang melihatnya. Adapun penampilan teater pantomim dari komunitas 4 Titik. Menceritakan trauma atas kekerasan seksual pada anak yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri. Penampilan tersebut menjadi penutup sore itu. Namun bukan hanya sekedar kelucuan dari gerakan dan mimik tampa kata-kata, dari penampilan tersebut mereka mengajak memahami bahwa kekerasan tidak hanya hadir dari lingkungan luar, tetapi dalam rumahpun dapat terjadi.
Selepas Magrib, Pemutaran vidio teater dari karya Darwis berjudul āNaginaā dan Amel berjudul āDua Cintaā. Dilanjutkan pertunjukan pencak silat dan tari kontemporer. Pada tari kontenporer tersebut, para penari ingin menceritakan pengalaman trauma yang dimilikinya masing-masing. Sebagai penutup seluruh kegiatan, diadakan kegiatan diskusi bersama seputar pengalaman trauma. Dengan perupa Ledy Kadang sebagai pembicara, menyampaikan pengalamannya dalam menjadikan proses berkesenian sebagai media terapi.

Kegiatan dua hari tersebut terasa begitu panjang bagi saya, banyak peristiwa-peristiwa berharga di belakang tulisan ini. Namun yang dapat kita berikan rasa salut ialah Kak Rhara dan Kak Fantri yang senantiasa membimbing dan mewadahi semangat para mahasiswa ISBI SULSEL dalam berkarya.





Komentar