top of page

Republik: Kota Makassar dan Seni Rupa

Diperbarui: 27 Nov 2022

Galang Mario


ree
Muhammad Fasli Kadir - Lakon - Mix Media pada kanvas 35x50 cm

Awal kata “Republik” berasal dari judul buku seorang filsuf bernama Plato yang berisi tentang filsafat dan teori politiknya. Buku itu ditulis sekitar tahun 360 SM yang di dalamnya memuat buah pikiran tentang negara atau kota ideal yang berisi manusia-manusia dengan segala bentuk dan pembagiannya. Sebuah republik dalam pengertian dasar, merupakan sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan. Republik atau negara ideal menurut Plato adalah negara yang berwujud keadilan. Hadirnya negara berangkat dari manusia yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya jika sendiri, perlunya hidup bersama dan berasosiasi dengan yang lain, hingga terjadilah pembagian kerja di antaranya sebagai warga. Ada bekerja sebagai petani, pengrajin, tukang dan seterusnya yang ia sebut sebagai kelas sosial dari negara ideal selain penjaga dan seorang pemimpin yang juga filsuf (aristokrasi).


Kelas sosial bekerja sesuai bidangnya serta saling melengkapi. Produk yang mereka hasilkan akan mereka gunakan untuk kebutuhan pribadi dan juga dijadikan sebagai barang barter (tukar menukar barang), untuk memenuhi kebutuhan lainnya sebagai warga yang hidup bersama, saling mengisi dan melengkapi. Sebuah gambaran keadilan dari negara ideal. Jika kita hubungkan konsep ideal tersebut dengan kota di Indonesia, khususnya kota Makassar, masihlah dalam perjalanan yang cukup jauh untuk mencapainya, sebab ada masalah di mana ada kelas yang belum terpenuhi dan mendapat keadilan jika kita melihat perbandingan secara keseluruhan dari beberapa kota di Indonesia yang telah maju. Kelas sosial itu ialah senirupa.


Kota Makassar bisa dianggap sebagai poros dan medan seni rupa Indonesia timur dan juga sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia, namun wadah dan ekosistem seni rupanya belum mumpuni. Menurut Nasirun dalam diskusi buku yang diadakan di Universitas Indonesia, ia mengatakan bahwa ada empat hal yang membangun ekosistem dunia seni rupa, yaitu pasar, kolektor, kritikus dan penulis sebagai komponen-komponen penting bagi perkembangan seni rupa. Pasar sebagai tempat seniman untuk menyalurkan karyanya, di mana bisa berupa galeri, museum, dan segala tempat yang bisa menjadi ruang dalam memamerkan karya; Kolektor yang berperan sebagai tempat seniman dalam mendapatkan dana dari hasil karya yang terjual; Kritikus ialah sebagai pemberi kritik terhadap karya seniman, menulisnya lalu memamerkannya dengan dengan jelas yang sekiranya bisa menjadi sebuah progress dari karya tersebut; Penulis berperan menuliskan biografi dan deskripsi karya seniman serta segala fenomena seni rupa yang terjadi sebagai informasi bagi masyarakat. Komponen inilah yang menjadi perhatian kita dalam membangun seni rupa yang lebih maju. Selain komponen tersebut perlunya ruang seni yang layak untuk disediakan bagi warga negara yang berkecimpung di dunia seni rupa dan itu tugas dari negara di mana perannya ialah memberikan fasilitas bagi warga khususnya pelaku seni, yaitu institusi pendidikan seni yang memadai, museum seni yang layak, dan galeri seni yang pantas. Institute pendidikan seni berfungsi sebagai laboratorium, penciptaan, pengkajian dan pengembangan seni yang melahirkan seniman, kritikus, penulis seni, peneliti, kurator dan sebagainya. Sedangkan museum atau galeri seni merupakan ruang menampung karya seni untuk dinikmati berisi semua hasil pengetahuan, keterampilan dan praktek seni serta sebagai tempat arsip berisi pencapaian peradaban bangsa. Adapun beberapa kota yang telah memiliki seluruhnya komponen tersebut, sebut saja Jakarta. Jika hal tersebut juga ada secara keseluruhan di kota Makassar, maka sedikitnya kita hampir mencapai sebuah kota ideal wujud dari keadilan sebuah negara.


Selain keadilan bagi kelas sosial dalam republik Plato, di sana juga membahas arti dari pembagian kelas sosial. Kelas sosial merupakan pembagian profesi yang bekerja sesuai bidangnya masing-masing dan tidak boleh bekerja di luar bidangnya. Warga dari kelas sosial dituntut fokus pada bidangnya masing-masing, agar memiliki sifat yang kompeten dan menghasilkan produk atau karya yang berkualitas, seperti petani, tukang, pengrajin dan berbagai profesi lainnya yang hidup dan bekerja menghasilkan produk sesuai dengan kemampuannya. Inilah yang terjadi pada negara-negara maju seperti halnya konsep negara atau kota ideal Plato yang menjadi perbandingan bahwa kita jauh tertinggal karena masih ada warga yang terkungkung oleh kebudayaan yang menuntut untuk serba bisa mengerjakan segala hal. Melihat dari dunia seni rupa itu juga terjadi, dikarenakan tuntutan bagi pelaku seni untuk mengerjakan pekerjaan lain demi penghidupan, sebab susah untuk bergantung jika hanya pada kesenian saja sebagai seniman. Hal ini disebabkan juga karena wadah dan ekosistem seni rupa kota belumlah mampu memberikan penghidupan. Perlambatan gerak kesenirupaan terjadi, Aktivitas seni rupa hanya sebagai hiburan yang singkat tanpa ada kesan yang berarti sepenuhnya di masyarakat, belum lagi kurangnya pemahaman terkait seni rupa di masyarakat. Sebuah masalah yang kiranya dapat menjadi bahan evaluasi kedepan untuk segera kita benahi.


Pada masa kini salah satu tanda dari kota ideal adalah kehadiran seni yang juga bisa dikatakan sebagai bagian dari kelas sosial itu sendiri. Berperan penting bagi negara sebab sebagai salah satu tanda perkembangan kebudayaan yang memberikan jejak peradaban dan pembangunan, serta sebagai wajah keindahan kota yang membedakannya dari negara lain. Peran tersebut tidak bisa lepas dari seniman dan pendidik seni di kota Makassar yang telah berjuang di dunia seni rupa hingga saat ini. seniman yang mengisi keindahan ruang publik kota, melestarikan budaya, menampakkan wajah kehidupan kota dengan jelasnya, menghadirkan momen penuh warna dalam kehidupan harian kita dengan berbagai aktivitas kesenian, memberikan inspirasi dan penyadaran hingga mampu memenuhi kebutuhan jiwa kita, serta memberikan nilai bagi kehidupan. Sedangkan bagi pendidik seni, selain mencerdaskan kehidupan bangsa juga membangun manusia-manusia yang kreatif dan empati. Dalam membangun kota dan seni rupa yang maju tidak hanya pada seniman dan pendidik seni itu sendiri, tetapi juga harus memperhatikan institut seni yang melahirkan komponen dalam ekosistem seni serta menghadirkan ruang seni yang layak agar kota dan seni rupanya bisa lebih maju.


Kemajuan sebuah kota dan seni rupanya tidak hanya dilihat dari kelengkapan komponen yang membentuk ekosistem seni rupa tetapi juga perlu diperhatikan bagian lain dari seni rupa yang meliputi kegiatan, seniman, karya dan apresiator yang saling menghidupkan geliat kesenian di kota. Sedikit menarik atas apa yang dipaparkan Martin Suryajaya dalam kontennya bertajuk “Sastra, Kota dan Pikiran Terbuka”. Ia mengatakan, kota tidak hanya berupa sebuah ruang yang dipersepsikan seperti sebagai tempat tinggal atau jalan yang dilewati dengan berkendaraan, tetapi Kota juga merupakan ruang yang dialami dan dihidupi baik dalam imajinasi ataupun perasaan kita. Segala pengalaman tentang kejadian atau hiruk-pikuk kota yang dialami, kita bisa akses melalui karya seni seperti lukisan, instalasi, patung dan sebagainya. Ketika seniman berbicara tentang kota sama halnya ia berbicara tentang apa yang mereka alami dalam ruang hidup kota. Dimasukkannya pengalaman dan perspektif itu ke dalam karya untuk kita nikmati. Sebagai penikmat, kita diajak untuk melihat dan menyelami kota berdasarkan apa yang mereka persepsikan tentang kota. Sebuah tanda dimana seni rupa dan kota saling berelasi sepanjang sejarah sebagai penanda waktu dan kehidupan, dengan melihat karya yang dihasilkan seniman dan melalui proses mengapresiasi mengajak kita melihat kota dari sudut pandang lain dan tahu tentang tentang realitas sosial kota. Ketika kita menikmati karya seni, untuk mendapatkan keindahan dari karya, wajib bagi kita untuk meninggalkan diri kita atau menangguhkan sejenak kepribadian, kemudian masuk dan menjelajahi karya tersebut. Mencoba untuk berempati terhadapnya. Jika saja seniman juga seperti halnya penikmat yang sekali waktu ingin menghasilkan sudut pandang di luarnya dengan mengeksplor dunia kota tidak hanya menghasilkan karya berdasarkan sudut pandangnya sendiri yang subjektif seperti sastrawan modern dalam merefleksikan kota. Ada perkembangan dari seniman itu sendiri. Konsep berkarya yang biasanya dalam merefleksikan kenyataan murni dari subjek seniman berubah menjadi sebuah refleksi universal kebanyak orang saat ia memberi jarak pada diri lalu melihat keluar dan menangkap pengalaman yang dirasakan dari sudut pandang orang lain tentang kota yang kemudian dihadirkan ke dalam sebuah karya. Dalam proses tersebut, kita mampu untuk menghadirkan perbandingan dan menimbang apa yang kita dan orang lain rasakan. Hal ini melahirkan sikap terbuka dalam diri kita. Selain itu, kita dapat mengetahui pandangan yang selama ini kita miliki mungkin telah tertinggal atau bisa saja salah terhadap estetika dan moral dalam memandang dunia setelah mendapat pandangan di luar dari diri kita. Kesadaran dalam menerima sudut pandang baru, penting untuk kita lakukan dan pelajari agar kita dapat terus berkembang sebagai warga kota umumnya dan sebagai seniman khususnya. Hidup sebagai warga kota dengan berbagai macam manusia dan kepentingan serta perbedaan. Kita menjadi bagian dari sekian banyak manusia kota, sebagai warga. Ketika menerima berbagai pandangan, akan membuat pandangan kita terhadap kota ikut berkembang dan berubah. Rasa penerimaan dan keterbukaan kita terhadap pandangan di luar diri yang membuat kita dapat saling berbagi pengalaman untuk tumbuh dalam memajukan kota layaknya warga bukan sebagai individu yang memiliki tujuan dan jalan yang berbeda untuk diri sendiri. Berbagi pengalaman dan pandangan terhadap kota dapat kita lakukan melalui karya seni rupa baik itu berupa lukisan, patung dan sebagainya. Seni rupa menjadi media untuk berbagi pengalaman dan sudut pandang antara seniman dan penikmat karya, dengan proses itulah seni tumbuh dan maju. Subjektivitas yang kita miliki dan terus dipertahankan tanpa ada langkah untuk keluar menerima pandangan diluar diri, menyebabkan karya yang kita hasilkan menjadi biasa saja, tak dapat menghadirkan dialog di dalamnya, kiranya mampu menghidupi dan menghadirkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupan kota. Jika kita hanya teguh dengan pandangan yang kita miliki tanpa menerima pandangan lain, kita seakan berjalan lambat dalam merespon kehidupan, perkembangan diri, dan karya yang kita hasilkan berakhir dalam kematian.


Perihal keterbukaan kita pada dunia di sekitar merupakan cara kita hidup sebagai warga kota yang kolektif saling menerima dan berbagi sudut pandang, membuat para seniman tidak akan mati bersama karyanya sebab diberikan kehidupan dari penerimaan penikmatnya, dan sebaliknya seniman pun ikut keluar menerima pandangan dari luar dirinya. Jika kita melihat kota Makassar dari sudut pandang lain menjadi sebuah peluang untuk mendapat semangat yang berbeda dan baru. Walau kita dihadapkan dengan banyaknya gambaran Makassar yang sama beserta deskripsi yang juga sama, tetap ada perbedaan sudut pandang di antara kesamaan itu. Seniman sebagai warga kota yang baik, perlunya sifat terbuka untuk menerima pandangan lain dan melihat dari segala perspektif yang ada, lalu membiarkan masuk dan menjadi bagian dari dirinya. Begitupun penikmat, agar kita dapat mengetahui sepenuhnya realitas sebuah kota dan perubahan sosialnya.


Orang yang merasa asing dalam melihat dunia, merupakan orang yang memiliki pikiran terbuka dan rasa empati yang tinggi. Hal itu merupakan cara kita untuk tumbuh sebagai warga kota dan sebagai manusia di dunia. Mengutip sabda Rasulullah SAW, kurang lebih demikian “jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau pengembara”. Menjadi asing pada dunia sekitar, untuk kita terima dengan pikiran terbuka keberadaannya. Inilah salah satu cara menjadi manusia seni di dalam kota atau negara ideal yang pada akhirnya menjadi bagian dari republik keindahan. Kondisi tersebut memungkinkan Plato tersenyum di alam sana.


Makassar, 24 Oktober 2022



Komentar


bottom of page