Ahmad Anzul: Ingatan tentang Rumah, Leang-Leang Rahim Peradaban
- merupajalanseni
- 30 Des 2021
- 5 menit membaca
Diperbarui: 27 Nov 2022
Penlis: Alif Aflah Yafie
“Ingatan-ingatan yang menggantung
Aroma laut
Kampung garam
Hanya 4x6 dua pintu
Sinar matahari akrab menjadi tubuh
Masuk dari sisi timur
Ingatan-ingatan yang menggantung
Bayang, Garis dan Saya”

Sebuah ingatan yang hadir kala menyusuri taman prasejarah Leang-leang. Adalah Muhammad Anzul yang menangkap ingatan itu sebagai konsep karyanya yang dipamerkan pada pameran seni instalasi MAIM dengan tema Leang-Leang Spirit: Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah.
Pada 12 September 1967, Muhammad Anzul yang akrab disapa dengan Anzul lahir. Pada sebuah rumah yang terbangun dari bambu. Ukurannya 4x6 meter, dengan atapnya yang bolong-bolong mempersilahkan cahaya matahari dan apapun yang diatasnya dapat masuk. Anzul lahir di daerah pesisir Selawesi Selatan, Kota Makassar, yang disebutnya sebagai “Kampung Garam”.
Pada masa SD, Anzul mulai ketertarikannya pada proses menggambar dan mengoleksi mainan figur Cowboy dan Tentara yang dibelikan oleh orang tuanya. Ketika SMA, Anzul akhirnya serius mempelajari seni rupa.
Ahmad Anzul memiliki landasan sendiri dalam berkarya. Sebagai seorang seniman yang lahir di Sulawesi Selatan, ia berdasar pada filosofi Bugis Makassar, yaitu, “Boyaki ri kalennu,” yang dalam bahasa Makassar, atau “Sappa'i ri alemu” dalam bahasa Bugis yang berarti, “Carilah kedalam dirimu”. Baginya diri manusia memiliki kompleksitas yang tak terhingga, layaknya alam semesta yang begitu luas. Kita adalah bentuk kecil dari semesta. Katanya, “Kita adalah semesta. Maka dari itu, untuk menghadapi segala sesuatu ceritalah dengan dirimu”.

Konteks Leang-leang merupakan bukti karya rupa tertua di dunia, kaya Ahmad Anzul. Menurutnya, apa yang dapat ditemukan dari sisa peninggalan Leang-leang adalah pengetahuan penting untuk seorang perupa. Sebab, Leang-leang dapat dikatakan sebagai titik nol dari seni rupa dunia. Itulah yang menjadi landasan picu Anzul untuk terus berkarya.
Dalam karyanya untuk even MAIM kali ini, Ia merefleksikan spirit Leang-leang itu sebagai sarang, tempat berlindung atau rumah yang dianalogikan sebagai bentuk rahim. Baginya Leang-leang dalam nilai adalah sebuah rumah; merupakan pemberi bekal pertama bagi manusia sebelum memasuki kehidupan sosial, layaknya rahim yang membentuk dan menyiapkan diri manusia sebelum keluar ke dunia. Dalam proses pembentukan itu, terdapat berbagai perjuangan dan rahimlah rumah yang paling kuat di sini.

Analogi rahim ditawarkan Anzul dalam pemaknaan nilai Leang-leang sebagai bentuk sosok perempuan, yaitu arti kata “leang” dalam sexology yang berarti “Liang” atau “vagina”. Sedangkan dalam bahasa Bugis, arti kata “leang” merupakan “gua” yang berarti Leang-leang merupakan lokasi yang memiliki banyak gua.
Pada karyanya tersebut, Anzul mewakilkan bentuk sarang yang tercipta dari rakitan bambu, dilengkapi dua lubang sebagai pintu yang dimaknakan sebagai rumah atau rahim. Bambu yang digunakan pada karyanya juga mewakilkan bagaimana rumah Anzul dulu, tempat ia dilahirkan dan dirawat sejak kecil. Bambu yang saling terhubung sebagai pembentuk sebuah keluarga. Adapun tali yang dibuat mengelilingi sarang, disimbolkan sebagai ikatan yang menjalin pada rumah tersebut. Merupakan silaturahim yang menyatukan ikatan dalam keluarga. Bayang-bayang yang tercipta dari cahaya yang masuk di setiap sisi bambu, mengartikan apa yang terjalin didalamnya. Di bawah sarang, dibuatkan dasar persegi dengan ukuran 4x6 meter dari bambu. Analogi sarang menceritakan ukuran rumah Anzul dulu. Dengan garam yang ditaburkan di atasnya, sebagai simbol bahwasanya bagian dasar tersebut merupakan tanah kelahirannya, kampung garam.
Bagi Ahmad Anzul, garam diartikan sebagai jati diri orang Makassar. Hal ini berarti bahwa apa yang ditawarkan dan diberikan orang Makassar adalah “rasa”. Jati diri tersebut, menurutnya dapat disaksikan pada budaya syukuran atau kegiatan berbagi makanan yang sering dilakukan orang Bugis Makasar dulu. Sebuah ajakan untuk merenung bahwa ada rasa yang mulai hambar pada masa sekarang. Berkembangnya pembangunan dan canggihnya teknologi mengakibatkan berkurangnya jalinan sosial diantara manusia.
Terdapat lima batang yang menopang berdirinya karya Ahmad Anzul kali ini. Lima batang bambu berwarna putih sebagai tiang, menyimbolkan waktu yang dilalui tiap harinya (Subuh, Dzuhur, Ashar, Magrib dan Isya). Karya yang berdiri itu memberi pesan bahwa waktu yang dimiliki kemarin, sekarang dan nanti ialah milik Tuhan dan kepadaNya manusia kembali. Garis penghubung antara manusia dan Tuhan ini disimbolkan dengan benang-benang yang menghubungkan sarang dengan kelima tiang tersebut.

Berbicara tentang karya Ahmad Anzul kali ini, berarti berbicara tentang sosok diri Anzul dan apa yang melatar belakangi diri dan kehidupannya sekarang. Adalah “bayang” sebagai memori dan bagian yang membentuk diri manusia, “garis” sebagai penghubung didapatkannya pada Leang-leang sebagai arti rumah dan “saya” sebagai diri Anzul atau siapapun yang berinterakasi dengan karyanya. Karya tersebut merupakan keberlanjutan dari dua tema yang diusung Anzul, yaitu; “Kampung Garam” dan “Bayang, Garis dan Saya”. Tema tersebut disatukan pada pameran seni instalasi Ahmad Anzul yaitu, “Leang-Leang Art Project (2020)”. Karya instalaisnya kali ini diberi judul “Energi: “Home”.
Ahmad Anzul yang akrab disapa Anzul, bernama lengkap Syamsul Bahri. Bakat seni Anzul berkembang dan terasah lewat interaksinya dengan para seniman utamanya perupa yang berproses di Benteng Somba Opu. Anzul bersama rekan-rekannya di komunitas Pasar Seni Somba Opu banyak menimba Ilmu di Amrullah Syam, Is Hakim, Nur Dahlan Djirana, dan Halilintar Latief. Latar belakang inilah yang banyak mempengaruhi proses berkesenian, terutama karya seni rupanya. Beberapa aktifitas kesenian yang dikuti Anzul antara lain; ”Makassar Art Forum (MAF) 99” tahun 1999, “Segenggam dari Makassar” (Trilogi;Tanah) RONG (Colaboration Asia-Eropa in Art and Environment) di Tejakula, Singaraja, Bali tahun 2000, Pameran Seni Rupa “Kalimantan Art Exhibition II 2005” di Hotel Dusit Balikpapan Kalimantan Timur tahun 2005, Binne Makassar 2014, Cross Border 2014, Jakarta Biennale 2017 dan Makssar Biennale 2017. Pada tahun 2019 terlibat dalam pameran Makassar Art Initiative Movement.
Deskripsi Karya:
Karya Ahmad Anzul yang berjudul “Energy: Home #5” meghadirkan bagaimana wujud rumah semasa kecilnya dan peran keluarga dalam membentuk dirinya hingga saat ini. Dengan tiang-tiang bambu setinggi 80 cm dan di atasnya terdapat alas bambu selebar 4x6 meter, Anzul merefleksikan wujud rumah panggung yang dulunya pernah ditinggalinya semasa kecil. Adapun tambahan lubang persegi yang didalamnya terbentang plastik bening sebagai penadah air hujan. Penadah air hujan tersebut merupakan bentuk dari cara bertahan hidup keluarganya dulu ketika masih sulit menemukan air tawar yang dapat dikonsumsi di daerah pesisir.

Garam yang ditaburkan memenuhi luas panggung sebagai penyimbolan asal jati diri Anzul sebagai orang Bugis Makassar. Garam diartikan baginya sebagai bentuk kekuatan, rasa dan pengawet. Diatas garam tersebut, dibuatlah wujud dari sarang burung yang berukuran 2x4 meter yang terdapat dua lubang, yaitu ada di lorong memanjang dan pada bagian tubuh sarang yang terdapat dibagian belakang. Sekilas bentuk dari sarang tersebut, memiliki satu ruangan yang dihubungkan dengan dua lubang, namun terdabat sebuah bola yang terbuat dari rangkaian bambu dan berwarna putih. Bola tersebut hanya dapat diakses pada bagian lubang disamping sarang. Menciptakan ruang sendiri dalam sebuah ruang (sarang). Wujud tersebut diartikan oleh Anzul sebagai bentuk rumah yang sekaligus merupakan rahim yang menjaga, menghidupi dan menyiapkan manusia sebagai seorang individu yang siap untuk menuruh jejak saat keluar darinya.
Lima tiang bambu diberdirikan sekitar sarang. Kelima tiang terhubung dengan benang-benang wol berwarna putih yang saling mengait dan terikat memenuhi bagian atas karya. Benang-benang tersebut dimaksudkan sebagai setiap kehidupan dunia yang tehubung oleh ruang dan waktu yang diberikan oleh Tuhan. Wujud kelima tiang tersebut menurut Anzul juga mewujud tangan yang dipenuhi oleh benang-benang. Baginya wujud tersebut mengingatkan pada kebiasaan ibunya yang sering merajut berbagai kebutuhan pakaian Anzul dulu. Material bambu yang menjadi dasar pada karyanya kali ini, mengartikan tiap rangkaiannya sebagai ikatan yang terjadi pada kehidupan dalam rumah, yaitu dalam kekerabatan dan silaturahmi yang bersatu dalam harmoni.
Ket.
Tulisan ini telah dipublikasian di katalog Pameran Leang-leang Spirit; Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah dan Majalah Merupa Volume 1, Nomor 1, Oktober-Desember 2021.





Komentar