top of page

Harun P. Mas’ud: Keniscayaan Transformasi

Diperbarui: 27 Nov 2022

Penulis: Galang Mario


ree

Harun P. Mas'ud seniman yang kini bermukim di Kota Makassar. Ia lahir di Malang pada 14 Juli 1957. Beliau tumbuh di lingkungan kesenian sejak kelas 3 SD sampai SMA di Intitusi Kesenian Sulawesi di bawah bimbingan Pak Amrullah Syam. Pada masa SMA ia begitu aktif belajar dan berkarya dengan fasilitas yang terpenuhi di SMA Pembangunan. Sekolah ini menyediakan ruang kesenian yang lebih dibanding lingkungan rumah yang tidak memiliki dan mendukung semangat berkeseniannya kala itu. Kondisi tersebut berperan mengasah kemampuan teknisnya berkesenian. Ia mengaku tidak tamat di sekolah ini. Ia kemudian pindah SMA Kartika dan lulus pada tahun 1976.


Lingkungan hidup Pak Haroen, demikian ia disapa, mendukung pula naluri estetiknya. Tetangga dan kerabatnya memberikan peralatan menggambar pada masa itu. Haroen muda suka menggambar dan senang mengoleksi gambar. Gambar-gambar ditempelkan di tembok-tembok rumahnya. Saat itu, kebanyakan anak muda suka memajang poster di rumah mereka. Berbeda dengan Haroen yang justru menempel hasil karyanya sendiri sebagai pengganti poster untuk penghias dinding rumah.


ree

Pada tahun 1976, selepas dari SMA, Haroen pindah ke Jogjakarta melanjutkan pendidikan di ISI Jogja sebagai mahasiswa desain. Walaupun jurusan yang ia masuki bukan seni rupa tapi ia tetap aktif melukis. Bisa dikata melukis adalah hal utama baginya ketimbang mendesain.


Seiring berjalannya waktu, akhirnya menyelesaikan dunia perkuliahan. Beliau pulang kembali ke Makassar dengan membawa semangat kesenian ditemani rekannya bernama Dicky Chandra. Ia lalu membangun perkumpulan seni rupa bernama Sisri. Kemudian berlanjut dengan mendirikan perkumpulan Selebassi, yang juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan seni rupa di Makassar. Pada saat itu pula ia aktif mengikuti berbagai pameran seni, salah satunya adalah pameran Sandi Karya pada tahun 1985, sebelum ia pindah ke Jakarta.

Pada tahun 1986, Haroen merantau ke Jakarta. Ia bekerja sebagai desainer disana. Segala pekerjaan dalam dunia desainer ia kerjakan; dari desainer periklananan lalu pindah ke desain audio visual dan desain interior. Selama di Jakarta ia tetap aktif melukis dengan menerima pesanan lukisan walau tidak pernah mengikuti pameran.


Bila diperhatikan gaya melukis beliau bergaya surealis. Ia bernarasi dan menceritakan hasil pengamatannya. Haroen kemudian mengilustrasikan pengalamannya itu dengan mengambil dan menggabungkan bentuk-bentuk yang ada di alam sebagai perwakilan gagasan karyanya yang indah dan bermakna.

Haroen mulai aktif berkarya sejak tahun 1990 sampai dengan 1995. Pada tahun 2008 ia kembali ke Makassar mendirikan Intitusi Kesenian Makassar (IKM).


Baginya seni rupa sangat mirp dengan agama. Kesadaran itulah yang ia dapat sepanjang perjalanan berkarya. Bahwa Manusia tidak mungkin berkarya kalau bukan karena Tuhan yang menggerakkannnya. Begitupun agama dengan beribadah. Kedunya merupakan sesuatu yang tak dapat lepas dalam kehidupan, baik dilakukan sukarela ataupun terpaksa. Kesadaran terhadap kehadiran Tuhan bergantung pada kemampuan manusia menyikapi dan merasakan hal-hal yang ada di balik perbuatan manusia, baik dalam berkesenian maupun beribadah.


Berangkat dari melihat, mengamati, merasakan, hingga terpetik kesadaran tentang eksistensi Tuhan yang memberikan alam kepada manusia dengan penuh literatur. Literatur ialah sebuah pengetahuan yang Tuhan berikan di alam semesta ini yang begitu banyak dan tak terbatas, melampaui apa yang diketahui manusia.


“Seperti halnya lautan yang begitu luas, ketika kita menyentuh lautan di depan kita, hanya itulah literatur yang kita punya sebatas jari yang dicelupkan dibanding luasnya lautan yang ada di hadapan kita. Luasnya lautan adalah milik Tuhan yang diberikan kepada kita,” jelas Haroen.


Dalam berbagai kesempatan, Haroen sangat senang mengamati keindahan awan di langit dengan berbagai aneka bentuknya; kadang menyerupai angsa dan bunga, kemudian berlalu, hilang dan berganti dengan bentuk-bentuk lainnya. Fenomena pergantian bentuk-bentuk awan ini adalah umpama dari proses kehidupan yang terus berubah, bertransformasi. Fenomen tersebut memantik kesadaran tentang ketidakabadian dunia dan menegaskan bahwa hanya Sang Pencipta yang abadi dalam kehidupan ini.


Secara sederhana, analogi awan juga menyadarkan bahwa semua yang ada hanyalah pemberian untuk dinikmati. Merujuk kepada karya manusia, seperti hasil budaya yang dulunya ada kini punah dan beberapa telah hilang digantikan dengan teknologi baru.


Suatu kekhawatiran bahwa, keberadaan kebudayaan di Sulawesi Selatan berada dalam gerbang kepunahan, seperti kesok-kesok yang kini hilang secara bentuk dan isi, juga karya seni lainnya yang telah diteransfer ke dalam teknologi baru digital. Teknologi digital menyisakan audio kesok-kerok dalam smartphone. Audio digital tentulah sangat berbeda dengan pengalaman ketika menyaksikan langsung pertunjukan kesok-kesok itu.


Jika di hubungkan dengan Leang-leang sebagai bukti peradaban prasejarah, juga mengalami ancaman kepunahan dan hanya akan dinikmati melalui teknologi digital jika tidak dijaga dan dilestarikan.


“Kita tidak lagi menikmati keindahannya secara alamiah di tempat itu sebab orang sudah dapat mengaksesnya lewat komputer dan media digital canggih,” kata Haroen. Fenomena itulah yang menjadi dasar konsep karya yang diciptakan Haroen. Karya tersebut merupakan hasil dari mengamati perubahan yang dramatis dan meresahkan tentang ancaman kehilangan budaya indah yang sejatinya perlu di nikmati secara langsung.


Leang-leang salah satu literatur yang merupakan hasil karya Tangan Tuhan yang perlu dinikmati dan dilestarikan bukan untuk dirusak. Namun yang terjadi saat ini sangat meresahkan, karena adanya eksploitasi pemanfaatan material bebatuan marmer dan kars. Haroen pelestarian dan perlindungan Leang-leang adalah keniscayaan. Perlindungan dan pelestarian dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan positif; berkunjung dan menikmati keindahan alam dengan penuh semangat menyatu bersama alam Leang-leang.


Karya Haroen P. Mas'ud berjudul Jalan Transformasi yang abadi. Inspirasi berdasarkan hasil pengamatan tentang perubahan kehidupan dari yang tradisional menuju dunia modern, menghasilkan berbagai karya teknologi seperti teknologi digital yang membingkai karya tradisi. Adapun media yang digunakan dalam merancang seni instalasinya, yaitu; bingkai raksasa setinggi kurang lebih 7 meter, di dalamnya terdapat alat musik kesok-kesok dengan ujung kepalanya berbentuk daun, di sekitarannya dipenuhi bentuk-bentuk bebatuan gunung dan awan. Perubahan yang abadi dapat dinterprerasikan sebagai sebuah karya dalam ruang dan waktu yang berubah. Jangan sampai Leang-leang tinggal menjadi konten-konten digital dalam genggaman manusia.



Deskripsi Karya:


Dakron sebagai bahan utama pembentuk awan, diwujudkan seperti alat musik Keso-keso yang berdiri dengan bagian batangnya sebagai tanaman yang tumbuh. Pemilihan bentuk keso-keso yang merupakan alat musik kesukaan dari Haroen P. Mas'ud disimbolkan sebagai bentuk dunia yang terus hadir, berubah dan berkembang dan akhirnya menghilang namun terus digantikan dengan bentuk-bentuk yang baru dalam menemani dan memenuhi kehidupan manusia. Tanaman yang tumbuh diwujudkan sebagai rasa kasih sayang yang hadir dalam kehidupan bersosial dan budaya. Bentuk yang dihadirkan dari karya tersebut merupakan penyikapan dari apa yang terjadi pada situs pra sejarah Leang-leang, Haroen menyatakan bahwa akan ada masanya Leang-leang terkait dengan wujud dan nilai historis yang dimilikinya akan berubah pada wujud yang lebih mudah diketahui pada masa sekarang, terutama dengan kehadiran internet yang dapat digenggam setiap orang dengan menggunakan handphone. Dunia seakan dapat digenggam dengan mudah hari ini. Sederhananya, untuk mengetahui apa itu Leang-leang akan sangat mudah diakses dimana saja, namun dapat berakibat berkurang atau hilangnya esensi ke-Leang-leangan itu sendiri, disebabkan hilangnya “rasa” yang mungkin hanya ditemukan dalam pengalaman berkunjung secara langsung.


Eksistensi dari Leang-leangpun mungkin hanya akan diketahui sebatas apa yang berada di handpone, sedangkan apa yang tercipta sejak ribuan tahun yang lalu menjadi sesuatu yang abstrak untuk dapat dihargai secara langsung. Karya instalasi tersebut seakan memperlihatkan awan yang terbekukan dalam sebuah frame (bingkai) hitam yang terbuat dari rangka besi hollow yang dikemas paranet. Frame tersebut artikan sebagai penyederhanaan dunia yang hadir dalam bentuk handphone.


Bukan cuma wujud awan, bagian dalam yang tidak tertutupi oleh dakron dan menembuskan alam sekitar ruang pamer, seakan membuat dunia menjadi terpotong dan masuk dalam frame tersebut.

Adapun pewujudan enam stalagmit yang tumbuh dari tanah, melingkari karya. Stalagmit tersebut dibentuk dari material sama seperti bentuk keso-keso, namun stalagmit-stalagmit tersebut dibuat dengan tinggi sekitar 0,5 sampai 1,5 meter.


Dibentuknya tumbuh dari tanah dapat diartikan sebagai eksistensi dari wujud Leang-leang yang makin lama akan menghilang seiring waktu, mungkinkah akan hancur oleh alam, eksploitasi dari pertambangan atau terlupakan oleh perhatian manusia itu sendiri. Dengan begitu Haroen berharap adanya kesadaran dalam menyikapi perubahan-perubahan yang tak terhindarkan dapat terjadi, dengan begitu kita dapat menentukan apa yang seharusnya dilindungi, diperbaiki dan dikonservasi.


Ket.


Tulisan ini telah dipublikasian di katalog Pameran Leang-leang Spirit; Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah dan Majalah Merupa Volume 1, Nomor 1, Oktober-Desember 2021.



Komentar


bottom of page