An Artistic Journey to Find Home
- Zamkamil
- 13 Sep 2022
- 5 menit membaca
Diperbarui: 27 Nov 2022
Zamkamil
Catatan perjalanan BtB3

Sebanyak 13 orang menempuh perjalanan pp Makassar - Parepare - Makassar, jika ditotal ada sekitar 300 kilometer jarak tempuh yang terlewati untuk jangka waktu kurang dari 24 jam. Sekira ada 10 jam waktu yang terpakai dalam perjalanan pp dengan motor, dan sekitar 10 jam waktu stay di Parepare. Ada dua hal pokok yang menjadi cerita dalam perhelatan BtB3 ini, adalah perjalanan yang mengasikkan dan rumah.
Tentang perjalanan yang mengasyikkan itu dimulai dari niat untuk berkonvoi ria dengan kecepatan sedang sambil mencari-cari spot untuk berhenti sejenak, bersenda gurau atau membuat sketsa, seperti di area perbatasan Pangkep - Barru, spot di sini menawarkan pemandangan ke arah laut dengan objek aktivitas nelayan, perahu-perahu, bagan dan bakau. Jeda dan relaksasi yang demikian membuat perjalanan terasa tak membosankan, meski tak bisa dipungkiri, dari argumentasi rata-rata kawan-kawan mengatakan bahwa kawasan Barru cukup menggelisahkan, menelusuri jalanannya yang lurus, rata dan nyaris tanpa tikungan serta perasaan yang menggoda seolah kita berada di atas suatu jalan tanpa ujung. Bagi saya bukan sekali ini melintasi Barru, bahkan sudah berkali-kali, namun kesan sebagai jalan tanpa ujung itu masih saja mengganggu seperti kali ini. Saat perjalanan pulang, sekitar pkl. 23.30 kembali melintas di Barru dengan kondisi mata yang sudah susah diajak kompromi, mengantuk luar biasa. Ketika itu benakpun mulai liar berimaji, "mengapa negeri Barru begitu panjang? adakah Tuhan telah membuat kesalahan? Ah tidak, Tuhan tidak mungkin membuat kesalahan, hanya saja mungkin Tuhan teledor, saat Dia berkreasi membuat negeri bernama Barru, malaikat tengah mengajakNya berbincang, sehingga Dia lupa memberinya sedikit kelokan atau jurang dengan rerimbun pohon flamboyan". Baru seperempat jalan memasuki daerah Barru, mata benar-benar sudah tidak bisa terbuka, sesekali terlelap sembari meluncur di atas jalan raya, di mana mobil dan truk berlomba adu kecepatan maksimal, saya beberapa kali tersentak, gegara klakson sialan itu hampir saja saya terhuyung masuk selokan, untung kawan seperjalanan bersepakat mampir di pom bensin, setelah membasuh muka, mata mulai normal kembali. Halusinasi mulai menghantui lagi ketika perjalanan balik ke Makassar ini sedang di pertengahan wilayah kabupaten Barru, "perbincangan antara malaikat dan Tuhan pun kian seru, malaikat bertanya mengapa Tuhan harus membuat lagi negeri seindah Yunani, yang bernama Nusantara, negeri laut yang begitu memesona dan kekayaan alam yang melimpah ruah, rakyat yang rajin bekerja sepanjang hari. Tuhan memang membuat negeri Yunani seperti surganya para dewa, tetapi rakyatnya menjadi pemimpi dan malas-malasan. Oh Nusantara, gerangan apa ya Tuhanku yang Engkau takdirkan kepadanya sebagai cela, agar mereka penduduk Nusantara nantinya tidak sombong serta senantiasa bersyukur? tanya malaikat, kepada Tuhan yang sedang bekerja meletakkan jalanan Barru, Tuhan tampaknya kesal atas pertanyaan malaikat, Tuhan pun menjadi baper dan tak merapikan pekerjaannya...". Ah imajinasiku semakin liar berkelana, jadi apa ya kira-kira yang akan ditakdirkan Tuhan kepada negeri Nusantara, sebagaimana Yunani yang indah tetapi rakyatnya menjadi pemalas. Sambil berpikir itu, ternyata rombongan kami telah memasuki daerah berikutnya, tertulis - selamat datang ke kabupaten Pangkep. Entahlah, memasuki kawasan ini dan selanjutnya begitu juga kabupaten Maros, tidak ada lagi imajinasi liar, pikiran segar adanya hingga tiba di Makassar, pkl. 02.00 dini hari.

Hal kedua yang menjadi inti cerita, setelah perjalanan yang mengasyikkan itu adalah rumah. Baik mengenai rumah yang ditinggalkan ataupun rumah yang dituju. Dalam hal ini, rumah yang akan kami tuju sama sekali di luar pengetahuan, seperti apa dan bagaimana nanti setibanya di sana. Dalam beberapa kali perbincangan, saya kerap bercanda bahwa anggap saja kita ini sedang melaksanakan hijrah sesaat, seolah kita adalah kaum muhajirin dan mereka yang di sana adalah anshor. Adalah BERDAYABOOK yang kami tuju, sebuah ruang mini pustaka sekaligus kafetaria, yang sebenarnya adalah beranda sebuah rumah dengan konsep ruang terbuka. Keterbukaan itu langsung terasa - angin semilir segera saja menyapa kami begitu tiba, seiring kumandang suara adzan dhuhur, sayup-sayup terdengar dari arah timur. BERDAYABOOK menerima kami seakan bukan tamu jauh, kami pun seperti merasa tidak datang dari jauh. Sehingga hal yang wajar terjadi begitu saja, duduk santai sembari minum kopi, lalu tidur-tiduran, makan bekal bersama, ke dapur, masak mie instan, buang sampah pada tempatnya, buka tutup kulkas, keluar masuk toilet, menggeser pot tanaman, mengosongkan beberapa buku dari raknya dan menggantinya dengan pajangan karya lukis, menempel poster di dinding serta merubah tata letak meja kursi. Semua ini seharusnya adalah suatu aktifitas dalam lingkup dan ruang privasi, namun nyatanya ini adalah sebuah kolaborasi antara konsep dan ruang. Tanpa disadari, yang berlaku justru tradisi kekeluargaan. Alhasil, BERDAYABOOK sebagai kafetaria untuk sementara terlupakan, ia seutuhnya adalah rumah yang kami temukan.
Sebuah perjalanan yang mempertemukan orang yang saling merindu, perjalanan yang berujung silaturrahim adalah kebahagiaan sesungguhnya. Seorang kawan lama, bernama Anwar mendatangi kami di BERDAYABOOK. Saat senja menjelang, dia mengajak kami jalan-jalan sore sambil menikmati kota Parepare. Sampai pulalah kami di pasar Senggol dekat pantai. Ternyata sekarang sudah dipenuhi dagangan cakar (pakaian bekas, impor). Dulu ketika kanak-kanak, saya beberapa kali ke sini - hanya untuk melihat laut, lalu melukisnya saat sampai di rumah, kampungku sekira 60 km ke arah timur laut. Parepare buatku saat itu menarik karena ada lautnya, ada pulau kecil di seberang sana, ada bukit yang tak jauh. Dari ketinggian, kita juga bisa memandangi laut, nun jauh di sana burung-burung camar riang bermain ditimpah cahaya, dari ketinggian juga kita bisa menyaksikan atap-atap rumah, warnanya kecoklatan karena berkarat dimakan waktu, beberapa mengkilat karena masih baru. Di selanya masih bermunculan warna-warna hijau, menyejukkan mata, dari pepohonan, seperti mangga, kelapa atau pohon pisang. Barangkali Parepare bisa disebut kampung besar dari pada sebuah kota, pikirku waktu itu. Hal yang paling berkesan saat berkunjung ke Parepare dahulu kala adalah berjalan menyusuri trotoar pertokoan, lalu nongkrong di pantai dan bertemu turis asing yang memberikan buku-bukunya, meskipun tulisannya asing, tetapi gambar-gambarnya sangat menarik. Saya sedang melamuni masa - masa itu, tiba-tiba Anwar berbisik, "Kak, ayo kita ke RUMAH ā ibu saya sudah menyiapkan SARABBA dan ubi goreng". Wah gayung bersambut, "minuman jahe seperti itu memang cocok untuk kita yang baru saja terkena hembusan angin laut", ayo kataku!
Rumah Anwar terletak di lereng perbukitan, menghadap jurang sempit yang diantarai oleh jalanan kecil dan jejeran tanaman. Kami tiba di sana pas masuk waktu maghrib. Ibunya Anwar menyambut dengan sangat gembira, seakan kami pernah bertemu sebelumnya, itu terlihat dari sorot matanya yang tulus dan berbinar-binar. Beliau segera mengeluarkan beberapa sarung dan menggelar sajadah untuk kami berjamaah shalat maghrib. Setelah itu di beranda berlangsung diskusi kecil di antara kawan-kawan, tentang perkembangan kota Parepare pun pasar senggol dengan komoditinya yang mahal, dan tentang sebuah ritual di salah satu sudut kota yang masih eksis, yakni ritus Tolotang - merupakan sisa-sisa keyakinan purba suku bangsa Bugis. Aroma sarabba datang menyeruak, membuyarkan keseruan diskusi. Langsung saja, saya menyeruput segelas sambil mengunyah ubi dan singkong goreng, begitu nikmatnya sampai serasa mau tambah, dan ternyata memang saya berhasil menambah 4 atau 5 gelas sarabba karena masih banyak persediaan, sembari bersenandung lirih syair lagu Shaggydog, "...mari sini berkumpul, kawan wo-woo.....angkat lagi gelasmu,kawan....tuangkan air kedamaian, hey".
" LETTEKI MABBURA - BURA ! ", sambil berjongkok penuh hormat - ibunya Anwar menghaturkan kalimat tersebut. Saya sempat sepersekian detik merinding mendengarnya, karena itu bahasa langit orang - orang dulu. Jika saja saya tak pernah mendengar kalimat itu sebelumnya, sudah pasti saya akan salah paham dan tidak mengerti maksudnya. Belum lama, seorang teman kembali dari pedalaman kampung Bugis, dia terkesan bahwa di sana masih terpelihara baik tradisi eufemisme, yang menggunakan kata lain dengan maksud memperhalus, tetapi bukan dalam arti sebenarnya. Ia mencontohkannya dengan frasa "mabbura-bura", berikut arti dan maksud sesungguhnya. Ibunya Anwar, ketika menyatakan itu, seperti yakin sekali kalau kami mengerti maksudnya. Padahal mungkin tidak, karena di antara tetamu, barangkali hanya saya yang fasih berbahasa Bugis. Untungnya saya sempat menyimak cerita teman beberapa hari sebelum itu, bahwa "letteki mabbura-bura" adalah ajakan makan. Bukan mari berobat sebagaimana makna harfiahnya. Harap berpindah tempat untuk bersantap ala kadarnya, begitu kira-kira maksudnya. Dan benarlah - kami pun segera melingkar, duduk bersimpuh di lantai - bersantap bersama. Kenyang benar - rasanya bak ditonjok, sebab sudah terlebih dahulu makan singkong dan ubi goreng, sudah minum sarabba. Disuruh mandi, ditawari menginap, sudah juga istirahat layaknya rumah sendiri. Lalu nikmat apalagi? Inilah sejatinya RUMAH - di mana seorang ibu berada. Akhirnya niat baik itu sempurna adanya, An artistic journey to find home Alhamdulillah bertemu takdirnya.
Makassar, Agustus 2022





Komentar