top of page

Belajar Menulis Kesenirupaan di KAMIS

Diperbarui: 27 Nov 2022



Alif Aflah Yafie

“Karya seni kurang tepat dikatakan apabila ia berdiri sendiri – nilai karya seni dapat terangkat apabila ia dinarasikan.”


Kutipan di atas merupakan ucapan Moch Hasymi Ibrahim yang saya dengarkan di halaman belakang Rumata’ Artspace sore itu. Sambil berhimpitan agar tidak terganggu suara hujan yang masih rintik hingga malam, saya menyalinnya dalam buku catatan. Rasanya kutipan tersebut dapat menjadi pengantar kita untuk mengetahui pentingnya bidang kepenulisanan dalam lingkungan kesenian. Begitu juga dengan kegiatan belajar menulis essai seni yang kami hadiri kala itu, tepatnya pada tanggal 22 dan 23 September 2022.


Kegiatan ini bernama Kelas Menulis Essai Seni (KAMIS). Sebuah kegiatan belajar bersama yang terselenggara dari hasil kolaborasi ARTifact Project, Kelana Artspace dan Merupa Institut. KAMIS merupakan kegiatan inisiatif yang akan berlanjut pada penyelenggaraan pameran karya rupa REVOLUSI ESOK PAGI, dengan tema REPUBLIK. Ashabul Kahfi, direktur Kelana Artspace dan Ketua Manajer Kegiatan bercerita, bahwa kegiatan KAMIS ditujukan untuk dapat menciptakan penulis kesenian baru di Makassar, sekaligus menciptakan tim kerja yang dapat mendukung kegiatan pameran dalam mengangkat tema REPUBLIK dalam tulisan.



Sistematika kelas dalam KAMIS bersifat partisipatif, yaitu setiap orang yang terlibat dan ikut belajar saat itu dapat saling membagikan pengetahuan atau masalahnya dengan kebutuhan yang disepakati bersama. Tidak ada batasan antara penyelenggara, peserta ataupun pemateri. Semuanya bersama mempelajari kerja kepenulisanan dan mengenal bidang kesenirupaan. Sekiranya, itulah perjanjian yang kami sepakati pada hari pertama kegiatan belajar. Makna formal dan eksklusif dari kata ‘kelas’ hanya menjadi sebuah nama. Ia kembali dipakai, sebab belum ada kata yang tepat untuk mendefinisikan aktivitas belajar yang berlangsung sampai hari esoknya dan setelahnya. Irwan AR atau yang akrab disapa dengan Kak Brutus, kami percayakan sebagai fasilitator kelas. Sebagai fesilitator, dialah yang berperan dalam merekonstruksi elemen forum dan bertanggung jawab dalam pengembangan ide kami menjadi tulisan.


Pada hari pertama, setelah pembukaan dan rekonstruksi elemen kelas, materi pembelajaran difokuskan pada ilmu penulisan essai senirupa dan praktik memulai tulisan. Kelas saat itu dibawakan oleh Syamsuddin Simmau, seorang penulis dan juga konten kreator Pejalan Tua. Ia mengatakan bahwa tahap awal seseorang dalam menulis ialah mengenal terlebih dahulu dirinya sendiri. Dengan mengenal diri sendiri, seorang penulis dapat menghadirkan tulisan yang bersifat subjektif. Subjektifitas dalam tulisan memiliki fungsi dalam membangun kesan kolektif terhadap pembaca.


Menurut Kak Syam – begitulah kami menyapa Syamsuddin Simmau, dalam konteks pengulasan karya seni, latar belakang pengetahuan penulis merupakan bekal penting dalam menciptakan kedalaman pesan pada tulisan. Penulis dapat memberikan pendapat dan sudut pandangnya sesuai dengan keilmuan yang dimiliki. Subjektivitas juga dapat memperkuat dasar opini dan tujuan tulisan arahnya akan kemana.


Dalam menulis, proses yang sulit ialah memulai dan mengakhiri. Saat tulisan telah dimulai, pengerjaan atau penyelesaian tulisan harus dilandasi dengan suatu tujuan. Kak Brutus menambahkan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam menentukan tujuan tulisan. (1) ialah menentukan pendekatan (pisau analisis) apa yang ingin digunakan dalam menulis. Berkaitan pengaruh tulisan dalam mempengaruhi pembaca, dari kesadaran subjektif menjadi kesadaran kolektif, penentuan pendekatan memiliki kaitan dengan akan seperti apakah ‘emosi’ yang ingin dimasukkan di dalam penggunaan kata. (2) menentukan ide tulisan. Ide tulisan dapat ditemukan di mana dan kapan saja dan bisa dari yang paling terdekat. (3) menyusun kerangka tulisan. Yaitu, menentukan atau memecah ide menjadi kumpulan ide yang saling terhubung. Dari kerangka, penulis juga dapat memetakan alur tulisan dari pembuka, isi dan penutup. Dari ketiga tahap tersebut tujuan tulisan dapat ditentukan. Saat tujuan dari tulisan sudah jelas, strategi untuk tulisan dapat dibuat. Akan dibawa ke manakah tulisan kita selanjutnya dapat ditentukan.


Berlanjut di sore hari, saat alur pembelajaran menuju pada praktek memulai tulisan. Langit yang sebelumnya cerah, perlahan memekat dan menurunkan sebagian rintik hujan. Kami yang sedari pagi berkumpul di teras belakang Rumata’ menata ulang maja, kursi dan segala perabot belajar agar tidak basah terkena deraian air.


Moch Hasymi Ibrahim hadir membawakan materi terakhir pada hari itu. Kami diajak berbincang tentang bagaimana praktik pengulasan karya seni seperti apa. Menurut Kak Ami - sapaan akrab Moch Hasymi Ibrahim, karya seni dapat hidup apabila ia memiliki narasi atau kisahan yang dapat diketahui oleh publik. Narasi karya seni sendiri merupakan gagasan atau pengetahuan subjektif seorang seniman dalam merespon berbagai macam hal. Pentingnya pengulasan terhadap karya seni tersebut, ialah sebagai salah satu cara dalam menghadirkan pengetahuan subjektif sebagai pengetahuan yang dapat diterima oleh masyarakat.


Pengulasan seni sendiri memiliki tujuan untuk dapat mengenal, memahami, menilai dan membicarakan sebuah karya seni dan juga senimannya. Menurut Kak Ami, karya dan senimannya merupakan suatu objek yang tidak dapat terpisah. Untuk dapat mengetahui lebih dalam, cerita atau muatan informasi yang terdapat dalam suatu karya, secara tepat hanya diketahui oleh seniman. Maka dari itu, saat memandang suatu karya seni kita juga memandang sang seniman dan segala yang membentuk dirinya. Dan saat mengobservasi dan menuliskan apa yang ditemukan di dalamnya, samahalnya kita bercakap dengan karya tersebut.


Salah satu pendiri Rumata’ Artspace tersebut juga bercerita bahwa untuk masa sekarang, kita seharusnya sudah tidak perlu kesulitan lagi dalam mencari media yang dapat menampilkan karya atau tulisan ke publik. Hadirnya berbagai macam aplikasi sosial media, menjadi jembatan untuk mempermudah kita dapat dilihat oleh orang lain. Setiap orang di dunia sudah pasti memiliki sosial media, bahkan kita seakan dipaksa untuk membagi segala yang kita miliki di dalamnya.


Kelas berakhir sekitar pukul 18.30 WITA, bertepatan dengan telah redanya hujan. Kelas pun direncanakan berlanjut pada besok pagi.


Hari kedua, dibuka dengan perkenalan kami pada seorang penulis bernama Irmawati Puan Mawar atau yang akrab disapa dengan Kak Ime. Kehadiran Kak Ime pagi itu untuk memberikan tambahan pengetahuan tentang kerja kepenulisan seni, terutama dalam bidang jurnalistik.



Kak Ime menceritakan bahwa jurnalis seni memiliki peran untuk menangkap dan menceritakan fakta yang terdapat pada karya atau opini seniman. Kerja jurnalis seni diantaranya menuliskan kisah, sejarah, peristiwa, atau stori terhadap fenomena kesenian yang ditemukan. Maka, sebelum menuliskannya, diperlukan penguasaan terhadap persoalan yang tampak dan latar belakang dari suatu peristiwa.


Sama dengan yang telah kami temukan dalam pembelajaran bersama Kak Syam dan Kak Ami, sebagai seorang penulis tidak hanya dapat menuliskan apa yang ditemukannya begitu saja. Dalam menuliskan suatu objek karya yang bersifat subjektif, penulis seharusnya mampu menuliskan opininya sendiri terhadap apa yang ditemukan terhadap karya. Dari sanalah subjektifitas seorang penulis hadir. Namun, tidak dapat serta merta seorang penulis menulis tanpa memperhatikan aturan-aturan dasar membangun tulisan, sebab untuk kebutuhan publikasi, tulisan seharusnya dapat dibaca oleh umum.


Praktik kepenulisan juga telah kami temukan dalam membangun media riset, arsip dan publikasi sejak penghujung tahun 2021. MERUPA pada umurnya yang belum genap setahun, dengan bekal sebuah pesan dari Kak Syam “syarat untuk menulis adalah menulis”, masih senantiasa terus belajar dan tidak berhenti melakukan pencatatan pada fenomena kesenirupaan yang berkelindan di Makassar. Kepentingannya yaitu, untuk menjadikan momen kesenirupaan tidak hanya menjadi sekadar peristiwa sementara dan akhirnya terlupakan tersapu waktu. Sebab, mungkin saja setiap peristiwa tersebut akan senantiasa teringat oleh para pegiatnya, namun bagaimana dengan para penerusnya, akankah mereka masih mampu mengenalnya?


Bukti pentingnya pencatatan dalam setiap peristiwa kesenaian juga dijelaskan pada sesi mempelajari wawasan kesenirupaan, bersama seorang seniman kelahiran Soppeng bernama Zamkamil. Menuliskan kata “SEJARAH KESENIAN SECARA KRONOLOGI” pada lembar presentasi, perkembangan kesenian mulai di ceritakan pada Contemporary Art untuk membicarakan masa kini hingga berlanjut ke masa sebelumnya, yaitu Conceptual Art, Happening Art, Performance Art, Neo Realisme, Optical Art, POP Art, Abstrak, Realisme Sosial, Surealisme dan seterusnya.


Zamkamil atau yang akrab kami sapa Kak Zam menjelaskan, bahwa apabila tahap sejarah kesenian terus ditarik hingga kemasa lalu yang lebih jauh, kita akan menemukan gambar pada dinding cadas dari zaman prasejarah. Namun yang penting dari mengetahui tiap langkah sejarah ini adalah bahwa peristiwa hanya dihargai sebagai sejarah apabila ia dituliskan. Sama halnya pandangan hermenetika terhadap budaya dan sejarah, bahwa tidak ada masa kini yang dapat hadir tanpa pengaruh masa lalu.



Menjelang sore, kelas masih berlanjut di bawah pohon ketapang halaman belakang Rumata’ Artspace. Selepas salat jumat, kami diajak perpindah disana bersama Kak Zam. Sempat teringat kata si seniman yang senang dengan dongeng dan mitologi itu saat tahun lalu hadir di Rumata’ Artspace, kami sempat berdiskusi kecil dengan beberapa kawan pada suatu pegelaran pameran yang dibuat oleh mahasiswa UNM. Di tempat yang sama, ia menceritakan perasaannya seperti berada dalam nuansa Academia, kegiatan belajar antara filsuf Aristoteles dan murid-muridnya yang dilakukan dengan duduk melingkar di bawah pohon. Mungkin suasana itu yang ingin dibawanya kembali saat bersama para peserta KAMIS. Hadir pula M. Muhlis Lugis untuk sesi interview perupa. Interview sendiri dihadirkan untuk memberikan pengalaman peserta dalam melakukan pengenalan dan penggalian data terkait latar belakang seniman dan konsep kekaryaannya.


Kak Muhlis – begitulah kami menyapanya, banyak menceritakan bagaimana perjalanannya dalam menemukan tujuan berkesenian. Pengalamannya menyentuh kesenian secara akademik, ialah saat memasuki jenjang sebagai mahasiswa senirupa di Fakultas Seni dan Desain, Universitas Negeri Makassar (FSD-UNM). Namun, arah menuju bidang kesenimanan ditemukannya saat menempuh dunia perkuliahan di Pasca sarjana Instiut Seni Indonesia Yogyakarta. Mengambil fokus studi penciptaan seni grafis, Kak Muhlis banyak mempelajari bagaimana proses berksenian dalam bidang seni grafis.


Sebelumnya, perupa yang berkampung di Barru tersebut awalnya berkarya dengan teknik sablon atau saring; menyesuaikan dengan studinya saat masih menjadi mahasiswa dan usaha sablon yang telah menghidupi kebutuhan finansialnya saat masih berkuliah di Makassar. Namun atas dorongan M. Dwi Marianto dan pertemuan dengan seorang seniman cukil bernama Syahrizal Pahlevi, Kak Muhlis akhirnya meilih untuk mengambil seni cukil sebagai medium berkarya hingga sekarang.


Dalam kegiatan inteview bersama Kak Muhlis, poin penting yang dapat kami ambil ialah bagaimana seorang seniman tidak sekadar menampilkan bentuk sebagai objek yang dilukis. Dalam penciptaan karya, seorang seniman memerlukan proses kontemplasi, experimen dan explorasi visual. Pencarian dan pengumpulan data juga penting dilakukan dalam menambahkan narasi yang dapat dimuat pada karya, tidak hanya menyalurkan ide secara spontan tanpa pertimbangan. Affandi yang terkenal sebagai maestro seni modern Indonesia, juga tidak hanya melukiskan objek apa yang ada dipikirannya. Walaupun dalam menciptakan karya ia terlihat secara spontan bermain warna dengan tube dan tangannya, terdapat pertimbangan terhadap kesan apa yang ingin dihadirkannya pada sebuah kanvas. Objek yang hadir bukanlah sebagai objek itu sendiri, tetapi suasana dan pesan yang ditemukan Affandi pada suatu momentum. Momentum diciptakan atau sengaja ditemukan.

Kak Muhlis bercerita, setiap fenomena yang kita temukan di dalam hidup dapat menjadi bekal dalam menggagas ide karya. Tantangannya ialah, bagaimana ide tersebut dapat termanifestasi dalam bentuk atau wujud dari suatu medium. “Ide melampaui apa yang kita miliki”.


Kelas saat itu ditutup ketika Masjid sudah mulai mengumandangkan selawat untuk mengingatkan bahwa waktu salat magrib akan segera tiba. Terasa belum puas saat pembicaraan masih dapat lebih panjang. Kekurangannya, kami masih belum mengerti secara detil bagaimana seni grafis dan teknik cukil secara langsung. Kami pun bersepakat untuk membuat janji ke Studio Grafis FSD-UNM yang dikelola Kak Muhlis. Adapun Kak Brutus menambahkan untuk mempersiapkan essai yang telah kami kerjakan pada hari pertama agar dapat dibicarakan lagi di Rumah Lukisan; rumah, studio dan museum pribadi Kak Zam, pada tanggal 25 September 2022.


Belajar menulis essai seni di KAMIS tidak menentukan, bahwa kami telah menjadi penulis. Belajar selama dua hari di halaman belakang Rumata’, belum cukup untuk membuat kami bisa menulis dengan baik, apalagi dicap sebagai seorang penulis seni. Namun, seperti yang senantiasa diberitahukan Kak Syam kepada kami yang baru belajar menulis, bahwa untuk dapat menulis ialah dengan menulis. Selesainya kegiatan KAMIS bukan menjadi akhir, tetapi awal untuk terus belajar.


Setelah KAMIS kami sebagai peserta juga akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan pameran REVOLUSI ESOK PAGI, dengan tema REPUBLIK. Kegiatan pameran ini rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 28-30 Oktober 2022 di Rumata’ Artspace.


Comentários


bottom of page