Menemukan Keindahan Dalam Perjalanan
- merupajalanseni
- 21 Agu 2022
- 8 menit membaca
Diperbarui: 27 Nov 2022

Alif Aflah Yafie
Dari Makassar, ke Parepare dan ke Makassar lagi. Dalam sehari, ARTifact Project mengajak kita untuk mencari keindahan yang hanya ditemukan dalam sebuah perjalanan dan cerita yang dibawa ketika pulang ke rumah.
Minggu, 7 Agustus 2022. Pagi hari, saat matahari mulai menampakkan fajarnya di langit Makassar. Dengan ngantuk selepas begadang, Saya buru-buru mengangkut karya ke atas motor dan bergegas menyusul perjalanan para perupa yang tergabung dalam ARTifact Project. Usaha bangun pagi ini ditujukan untuk dapat ikut dalam Behind the Beauty ketiga.
Behind the Beauty merupakan sebuah happening art yang rutin digiatkan oleh ARTifact Project selam tiga tahun terakhir. Di mulai pada tahun 2020, dengan mengangkat tema āācause tomorrow is another dayā, berlanjut ke āwake up with the sunā pada tahun 2021, dan tahun ini āan artistic journey to find homeā. Berbeda dengan dua kegiatan sebelumnya yang meminjam sebuah rumah kosong di Kompleks Idi Lorong 3 sebagai tempat bereksplorasi, ARTifact pada tahun ini mengambil seluruh jalanan poros Makassar ke Parepare, Kota Parepare dan sebuah kafe dan perpustakaan bernama Berdaya Book.
Dalam kegiatan ini ARTifact tidak hanya ingin mencoba memaknai arti perjalanan dan pencarian tentang rumah. Behind the Beauty menawarkan makna yang bahkan dapat sangat luas dan beragam oleh peserta dan segala yang terlibat di dalamnya.
Perjalanan
Perkumpulan dimulai pada pukul 05.30 WITA. Titik kumpulnya ialah Jl. Perintis Kemerdekaan, tepatnya di depan Hotel Sarison; berdekatan dengan rumah Fantri Pribadi yang berada di Jl. Telkomas. Kelompok dalam perjalanan ini terbagi tiga, yaitu Zamkamil dan istrinya Poppie M, Irwan Nuhung dan Istrinya Camelia Abbas, Fantri Pribadi dan anaknya Nalini Deceng, dan Muh. Fadly Saleh dari ARTifact Project. Ada juga rombongan lain yang sudah berangkat lebih dini, Ada Kahfi Kelana dan Chaboā dari Kelana Artspace; Muhammad Faisal, Rizqi Ramadhan, Andi Ahmad Dhiyauddin dan Muhammad Fathir Rahman dari UKMSB eSA.
Pukul 06.34 WITA, Saya mengikuti rombongan ARTifact bersinggah ke Toko Roti Maros Salenrang untuk numpang sarapan. Puji syukur, tempat singgah tersebut menyediakan roti dan kopi teh gratis untuk para pengunjungnya. Ada juga arem-arem buatan Poppi M, menambah menyembuhkan perut yang sedari tadi sudah keroncongan. Mendapatkan kabar rombongan Kelana dan eSA menunggu di perbatasan Pangkep Barru, kami akhirnya bergegas menyusul.
Lambat tapi pasti, kami sepakat untuk tidak mengebut. Selain mencegah terpisahnya rombongan, tujuannya agar dokumentasi dapat dilakukan. Bergantian Zamkamil, Poppie dan Fadly berhenti untuk mengambil gambar aktivitas berkendara. Kamelia Abbas juga asik mengambil tangkapan menarik lewat kamera handpone sambil dibonceng suaminya. Ada juga Nalini yang sampai ketiduran dibonceng ayahnya, Fantri Pribadi.
Pukul 09.30 WITA, seluruh peserta dari Makassar akhirnya berkumpul. Momen tersebut kami manfaatkan untuk melakukan kegiatan sketsa bersama. Para peserta yang sudah menyiapkan alat gambar serentak menangkap pemandangan pesisir Barru. Tujuan sketsa bersama dilakukan untuk memberikan kesempatan peserta yang tidak sempat membawa karyanya agar bisa memajang karyannya juga. Birunya Selat Makassar, dengan tebaran jala-jala pada bagang, perahu-perahu nelayan yang bersandar di garis pantai, dan Cafe Baba Honra yang terlihat terapung di atas laut, merayu kami untuk berlama di sana. Setelah hampir dua jam, kamipun melanjutkan perjalanan ke Parepare. Lokasi utama kami dalam kegiatan ini, yaitu lokasi kami memajang karya yang kami bawa dan tempat yang kami objekkan sebagai rumah.

Pukul 12.30 WITA, perjalanan kami akhirnya berlanjut di sebuah kedai sekaligus perpustakaan bernama Berdaya Book. Kedai yang bertempat di Jl. Samsul Alam Bulu No. 25, Lompoe tersebut, merupakan tempat yang sebelumnya tidak direncanakan sebagai lokasi kami memajang karya. Fantri Pribadi sebagai penanggung jawab dalam mencarikan tempat untuk berpameran mengatakan, bahwa sebelumnya ia memilih Setangakai Bunga Makka sebagai pilihan pertama, tetapi ruang tersebut tidak menanggapi. Berganti ke Interaksi Book, toko buku tersebut mengarahkan untuk berkegiatan di Berdaya Book. Dari sana lah kami bertemu.
Menurut Fantri, tempat tersebut juga memiliki kecocokan dengan tujuan ARTifact menjadikan Kota Parepare sebagai rumah kedua, yaitu kedai tersebrut merupakan sebuah rumah dan memiliki suasana rumah. Tak perlu lama untuk kami berkenalan dengan kedua pengelola kedai. Ada Muh. Ismail Makmur sebagai pemilik rumah yang juga memiliki kesenangan dalam melukis. Ada juga Firdha Mutmainnah yang belum lama sempat berkenalan saat masih menjadi barista di Makassar. Pertemuan yang tidak terduga juga terjadi kepada Muh. Fadly, ia bertemu dengan Rahmat Saleh, sahabatnya ketika masih SMA. Dari pertemuan tidak terencana dan cerita lama yang diputar kembali, hadirlah perasaan baru dalam diri saya. Saya merasa seakan sedang bertamu kembali ke rumah keluarga atau teman lama. Ada keakraban, ada nostalgia di tempat yang sebenarnya masih baru kami kunjungi.
Zamkamil sebagai penggagas tema juga bercerita, bahwa Kota Parepare dianalogikan sebagai rumah bukan hanya karena ia sebagai salah satu kota yang berada di Sulsel. Parepare sama seperti Kota Paris. Geografisnya, tata kotanya, bangunan-bangunan tuanya, aktivitasnya. Ia dapat mengantarkan pada suasana yang sama dengan Paris. Sama seperti rumah, memberikan alasan untuk kembali ke sana.
Menurut Zamkamil, Paris memiliki arti yang sangat besar bagi setiap orang. Ia senantiasa dirindukan, bahkan oleh siapapun yang belum pergi kesana. Banyak tokoh seniman, seperti Van Gogh, Picasso, bahkan Raden Saleh sudah pernah hidup di sana. Banyak gerakan kesenian yang lahir dan bangkit darinya. Bukan hanya minat kesenirupaan saja, sastra, teater dan musik tumbuh subur di sana. Mengutip Enrest Hamingway, ia menyebut Paris sebagai a moveabele fest. Pesta yang bergerak.
Masuk ke waktu makan siang, Poppie M menawarkan para peserta yang belum sempat mencoba arem-arem buatannya. Ada juga roti tawar, legkap dengan margarin dan mesesnya. Sudah menjadi menjadi tradisi juga, setiap Behind the Beauty kami menikmati suguhan dari kakak perempuan kami dari Rumah Lukisan. Untuk menambah kepuasan perut siang itu, Fadly secara spontan meminjam dapur untuk memasak mie goreng. Ada juga Fantri yang membawakan bubur manado dari keluarganya. Untuk melengkapi semua sajian, hadir minuman hasil racikan Ismail Makmur dan Firdha Mutmainnah.
Setelah berpuas-puas merayakan pertemuan, seluruh peserta bersama-sama melakukan display karya. Irwan Nuhung membawa sembilan karya drawingnya yang semuanya berjudul āI Love U Fullā. Zamkamil membawa Trilogi Sawerigading-nya yang berisi tiga lukisan, yaitu āBean Gesteā, āLong Journeyā dan āEpiloque Cinta. Muh. Fadly Saleh membawa lukisan dengan objek daun ganja di tengah tumpukan dedaunan kering. Karya tersebut diberi judul āPilihanā. Saya sendiri membawa tiga karya yaitu āmenatap ke depanā, ālomba lariā dan ādikejar anjingā. Buku sketsa juga turut dipajang, menampilkan hasil tangkapan kami semasih di Barru.

Tuan rumah juga turut serta dalam menyajikan karyanya. Ismail Makmur menampilkan lukisan-lukisannya yang bertemakan pohon. Ada juga Shiwa Bijah degan dua karya topeng kertasnya. Karin (car.oot) menampilkan dua lukisan pemandangan langit. Mega dengan potrait tokoh aktivis Indonesia, Munir Said Thalib. Syahrial menampilkan potrait John Lennon, Ayatollah Khomeini dan Hairil Anwar.
Merespon ruang dengan alat yang terbatas, penempatan karya disesuaikan dengan kondisi saat itu. Beberapa karya dipajang pada tembok, yang lainnya disandarkan pada rak buku, kursi dan meja. Ada juga yang diletakkan secara terlentang pada badan meja dan kursi. Hasilnya, pameran tersebut memberikan sudut pandang yang beragam dalam melihat karya. Beberapa dari pengunjung terlihat harus sampai membungkukkan badannya agar dapat melihat karya yang terpajang.
Poster Behind the Beauty yang ikut terpajang, bukan hanya bertujuan untuk memberikan keseimbangan. Zamkamil juga ingin melihat, adakah pengunjung atau peserta lain yang akan bertanya setelah membaca tulisan pada poster? Harapannya, akan tercipta dialog lagi setelahnya.
Pukul 16.00 WITA. Saat langit melahirkan senja. Beberapa peserta dari Makassar memutuskan untuk berkeliling Kota Parepare. Bersama Anwar, mereka diantar menyusuri suasana sore Kota Cinta Habibi Ainun. Sayangnya Saya, Fantri dan Fadly tidak sempat mengikuti perjalanan tersebut.
Saat itu kami berkenalan dengan Endo Fernandez, perupa yang masih aktif berkesnirupaan melalui medium lukis dan mural. Ia menceritakan bagaimana perupa Parepare seharusnya bisa bersatu dan mengembangkan ekosistemnya secara mandiri, tanpa bergantung pada kegiatan-kegiatan kesenian dari daerah luar. Sama halnya dengan keterangan Muhammad Ismail Makmur, tentang belum adanya kelompok yang dapat mewadahi para perupa dalam berkesenian. Berbeda dengan Makassar yang sudah menciptakan kelompoknya sendiri-sendiri.
Perbincanganpun berlanjut pada bagaimana seharusnya iklim kesenian itu bisa hadir di suatu daerah. Bagaimana pentingnya peran dan kerja kolaborasi dalam membangun ekosistem kesenian suatu daerah. Muhammad Agung Budiman, seorang penulis dan sutradara film indie Parepare. Ia menceritakan bahwa dalam proses kekaryaan, kita tidak bisa lepas dari sistem kelompok yang dibangun. Pentingnya kegiatan dialog dan upaya untuk konsisten, juga sengat penting dalam membangun wacana kesenian di ruang publik. āKita tidak bisa memaksakan masyarakat umum untuk menerima karya kitaā¦yang harus dilakukan ialah bagaimana bisa konsisten menghadirkan karya kita kepada publik. Lambat laun mereka akan mengertiā¦.ā.

Malamnya, Berdaya Book melaksanakan program diskusi mingguan. Bertepatan dengan jadwal Behind the Beauty, kami turut serta mengikutinya. Diskusi dibawakan oleh Pinkan Pola, Kurator Makassar Bienalle 2021. Dimoderatori oleh Azwar Radif, diskusi digiring pada bagaimana kerja manajemen kesenian.
Pinkan bercerita, bagaimana konsistensi suatu kelompok dalam menggiatkan kegiatan publik sangat penting untuk membangun ekosistem berkesenian yang kolektif. Dalam melaksanakan kegiatan, kita dapat membagi peran-peran dalam membangun sebuah sistem kerja sesuai kebutuhan. Mengambil contoh kecilnya, Pinkan mengajak untuk melihat bagaimana Makassar Bienalle menghadirkan peran-peran kerja, seperti penulis, desainer dan sebagainya dalam proses kegiatan. Menariknya kerja sama tersebut diisi oleh orang-orang yang berada diluar bidang kesenian.
Keterlibatan antar disiplin ilmu dapat menjelaskan, bahwa ternyata minat masyarakat kepada kegiatan kesenian memang ada, tergantung dari bagaimana kita mengolah minat tersebut. Beririsan dengan beragam bidang ilmu juga memiliki manfaat dalam memperluas jangkauan pengetahuan, bagaimana menghadirkan kegiatan yang sesuai minat dan pengetahuan masyarakat umum.
Tidak lepas dengan pentingnya membangun portofolio. Pendokumentasian dan pengarsipan milik seniman ataupun kelompok memiliki peran besar dalam mempermudah pembacaan publik terhadap setiap aktivitas yang telah diciptakan. Utamanya dalam upaya mencari founding yang dapat mendukung keberlanjutan kerja kedepannya.
Diskusi berakhir pada pukul 22.50 WITA. Beberapa peserta dari Makassar sudah pulang deluan sejam yang lalu, menyisakan Fantri Pribadi, Kahfi Kelana dan Chaboā. Sebelum pulang, kami berkenalan dengan Sampan Institut yang juga menjadi peserta diskusi saat itu. Mereka merupakan kelompok yang bekerja dalam riset, arsip dan penerbitan kebuadyaan Parepare. Sambil membereskan karya untuk dikembalikan ke Makassar, kami saling bertukar cerita seputar suasana berkesenian di daerah masing-masing. Hasilnya, kita sepakat bahwa berjejaring itu sangat penting dalam kehidupan berkomunitas.
Setelah berpamitan di Berdaya Book, kami melanjutkan perjalanan menuju kerumah masing-masing. Fantri berencana pulang kembali ke Makassar besok sore, setelah mengantar anaknya Nalini ke puskesmas. Perjalanan Saya dengan Kahfi dan Chabo juga berakhir di pom bensin sekitaran perbatasan Parepare Barru.
Keputusan untuk menempuh perjalanan dari Parepare menuju Makassar sendiri, menjadi satu pengalaman baru bagi saya. Jalan poros yang belum lengkap pencahayaannya, lubang-lubang yang tidak disadari keberadaannya, mobil penumpang dan mobil container yang mengisi jalanan sepi. Saya merasa seperti seekor burung dalam lagu āBlack Birdā dari The Beatles. āinto the light of dark black nightā.
Pulang
āPergi yang pulang adalah misteri yang luar biasa dan ajaibā. Saya teringat pada cerita pendek karya Putu Wijaya yang berjudul āPulangā. Bahwa dalam perjalanan, pergi dan pulang itu memiliki kesamaan tujuan, yaitu sama-sama akan menuju ke rumah. Menuju tempat dimana sejatinya kita kembali.
Dalam Behind the Beauty, perjalanan Makassar, Parepare dan Makassar kembali juga menjadi upaya untuk memaknai kembali arti rumah. Itulah Makassar, sebagai rumah, ia merupakan tempat dimana kehidupan sejak dulu ditanam. Tempat dimana kita menjadi saksi sekaligus pemeran atas segala peristiwa yang terjadi di dalamnya. Dengan menempuh 154km, memberikan jarak antara diri dan apa yang telah sekian lama hidup bersama kita.
An artistic journey to find home memberikan pilihan kepada kita untuk mencoba jauh dari apa yang selama ini melekat atau bahkan menyatu dengan diri kita. Parepare dipilih sebagai tujuan alternatif, agar kita dapat melihat dan memaknai rumah itu kembali. Ia dapat menjadi rumah itu sendiri, tetapi bisa juga menjadi pengantar untuk merindukan rumah yang sebenarnya kita tuju; tempat sebenarnya kita akan kembali.
Dari sini kita dapat memahami, bahwa jarak memberikan kita waktu untuk dapat lebih selektif dalam menemukan apa yang sebenarnya tidak disadari pada diri kita sebelumnya. Bila rumah dipandang sebagai diri kita sendiri, maka jarak memberikan jeda untuk merefleksikan kembali seperti apakah diri kita, aktivitas yang telah kita lakukan, pilihan-pilihan kita, dan tujuan hidup kita apa. Apakah selama ini kita telah jauh tujuan itu? Ataukah samasekali tidak memilikinya?
Behind the Beauty bukanlah sekadar tentang melangsungkan kegiatan kesenian, dengan pemajangan karya ataupun proses dialog yang terjadi dalam sehari. Ia merupakan kesatuan dari semua yang terlibat di dalamnya, di dalam setiap cerita yang mengalaminya. Ia merupakan karya itu sendiri.





Komentar