Budi Haryawan:Leang-Leang Penanda Jalan Kepunahan
- merupajalanseni
- 4 Jan 2022
- 5 menit membaca
Diperbarui: 27 Nov 2022
Penulis: Galang Mario

Karya Budi Haryawan yang ditampilkan dalam pameran MAIM pada 12-19 Novemer 2021 berupa karya seni instalasi berjudul Rockless Extention, Jalan Menuju Kepunahan: wending and andinting (berliku dan bikin ketagihan). Konsep penciptaan berangkat dari keresahan pada perilaku beberapa manusia terhadap lingkungan di Leang-leang, terhadap rumah penghuni goa. Konsep ini pertama kali hadir dalam karya pertamanya tentang Leang-leang yang berjudul “Rumah Kami Tidak Untuk Dijual” dalam pameran Rally#1 MAIM. Karya tersebut juga menyinggung tentang keserakahan manusia dalam memanfaatkan lingkungan di sana yang tidak adil dan beradab hingga membuatnya punah. Kepunahan itulah yang menjadi inti dalam konsep karya yang digarap, yaitu penanda tentang jalan menuju kepunahan. Medium karya berupa batu yang disusun menyerupai bentuk piramid yang didalamnya berisi api unggun. Secara keseluruhan, karya Budi Haryawan ini terlihat seperti rumah atau sarang kecil orang gua. Instalasi berjumlah 9 buah dari yang terbesar hingga terkecil. Di setiap piramid terdapat cetakan jejak kaki. Bentuk itulah menjadi visualisasi kepunahan, bentuk yang muncul begitu besar hingga perlahan menghilang, konsep yang mengingatkan kita tentang ancaman kepunahan peradaban yang ada di leang-leang dan masih tersisa hingga kini.
“Jadi, inilah yang menjadi pertanyaan bagi kita apakah kita akan seperti mereka yang meninggalkan jejak. Lalu, jejak apa dapat kita titipkan seperti halnya mereka dengan jejak tangan dan juga keindahan rumah gua yang masih ada sampai sekarang,” pesan Budi Haryawan.
Secara substansial, konsep karya Budi Haryaman, “kepunahan bisa bikin ketagihan, menjadi punah tidak mudah, jalannya berliku. Karena bertentangan dengan insting dan naluri dasar untuk bertahan (survive) hidup abadi. Upaya lazim untuk tetap bertahan adalah adaptasi. Adaptasi membuat sesuatu bisa mengikuti alur perubahan, namun disisi lain , adaptasi juga menuntun ke arah kepunahan, terlalu dinamis juga game over begitupun terlalu kaku juga game over. Hanya satu yang tidak akan punah, ialah kehidupan itu sendiri, maka hiduplah selagi masih hidup. Jadikan dan nikmati hidup sebagai kehidupan. Seperti lirik lagu forever young karya alfaville, Sooner or later they all will be gone, we don't have the power, but we never say never.

Budi haryawan lahir di Makassar pada tanggal 17 Februari 1970. Seniman yang pada masa kecilnya sangat senang coret mencoret di lantai. Coretan inilah menjadi kegiatan awal melukis yang sedari kecil sangat intens ia lakukan sebagai cara bermain. Kegiatan tersebut mampu menghidupkan bakatnya dalam dunia kesenian terutama seni rupa selain kepiawaiannya dalam bermain musik. Musik baginya ialah kesenian nomor satu pada masa remaja. Keaktifan bermusik mengurangi minat dan memberikan jarak dengan dunia seni rupa untuk beberapa tenggak waktu, kala itu dimasa SMA. Namun hal tersebut mulai berganti ketika ia melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di IKIP Ujungpandang (sekarang UNM). Budi Haryawan akrab dipanggil Kak Budi. Ia dikenal dengan gayanya yang unik dalam berkarya yaitu teknik lukis dengan menggunakan pisau palet dalam menghasilkan karya lukis pemandangan yang begitu romantis.
Budi Haryawan melanjutkan pendidikan di IKIP Ujung pandang Pada tahun 1989 dengan mengambil jurusan pendidikan seni rupa Kampus inilah menjadi tempat ia menimba ilmu kesenian dan bertemu dengan teman-teman yang memiliki hobi yang sama. Sepanjang perjalanan sebagai mahasiswa seni dimasa itu, ia lebih aktif di luar kampus dalam meningkatkan kemampuan berkesenian. Peristiwa di luar kampus inilah yang mempertemukan Budiharyaan dengan dua seniman; yakni Wawan dan Rendy. Mereka kemudian bersama-sama membentuk Sanggar Cendrawasi di tahun 1996.
Sanggar tersebut memberikan dampak positif pada kemampuannya berkarya. Di situ pula ia juga bertemu dengan Rusdi Turnajaya, salah satu tokoh seniman realis di Makassar yang begitu popular di masa itu. Rusdi merupakan sahabat dan juga guru baginya yang mempengaruhi karya-karya realis Budi Haryawan. Dari Rusdi, Budi belajar langsung bagaimana cara menghasilkan karya realis yang tepat, cara menggunakan pisau palet sebagai alat favoritnya. Dari Rusdi pula, Budi Haryawan banyak menggali pengetahuan tentang melukis, terutama melukis gaya portrait dan pemandangan. Kemampuan itulah yang membuatnya tumbuh dalam dunia kesenirupaan khususnya di Makassar hingga saat ini. Sanggar Senderawasi menjadi wadah inspirasi baginya untuk terus berkarya, menerima berbagai pesanan lukisan portrait, aktif mengadakan berbagai pameran bersama dari stand ke stand, pameran yang diadakan oleh perusahaan sampai pameran besar yang mereka adakan di hotel hingga tahun 2000. Tahun ini pula menjadi akhir dari sanggar yang mereka dirikan.

Selama kurang lebih tiga tahun bersama Sanggar Seni Cendrawasi, Budi tak pernah melewatkan satu even pun. Adapun pameran yang pernah di ikuti yaitu, pada tahun 1996; pameran Duta Expo 96 dan Pameran Bersama Mulai Pekan Budaya Sulsel Ke IV. Pada tahun 1997, mengikuti pameran bersama Gelar Karya Tutup Tahun 97 di galeri IKIP Ujungpandang. Tahun 1998, Budi mengikuti pameran 21 Warna di hotel Sedona Makassar, Pameran Pesona Indonesia Bersama Galeri Cendrawasi dan pameran bersama bertajuk Wajah Reformasi di Hotel Sahid. Pameran terakhir di tahun 1999 ialah pameran La Galigo di Jakarta. Selanjutnya beliau menikah dan pindah ke Kabupaten Bone. Ia kemudian menjalani hidup dari seniman menjadi pedagang campuran selama tiga tahun. Profesinya berubah. Namun, Budi tetap berkarya walau hanya menghasilkan tiga karya selama tiga tahun di sana. Pada tahun 2002 ia kembali ke Makassar; kembali aktif berkesenian dengan menghasilkan berbagai karya pesanan sampai tahun 2014.
Budi Haryawan juga mengikuti beberapa pemaran, antara lain; Pameran Cross Border, Pameran Stasiun 1 Sampai 20 yang diadakan sekali dalam 2 minggu, Pameran Binne, Pameran These Day yang diadakan oleh Dewan Kesenian Makassar. Selain seniman, Budi Haryawan juga pernah menjadi desainer demi menyambung hidup.
Budi Haryawan mengaku masih konsisten dengan gayanya, yaitu berkarya dengan kepiawaiannya menggunakan pisau palet yang sangat ia senangi. Teknik ini, jelas Budi, mampu menampilkan keindahan wajah alam yang sederhana, apa adanya namun sarat makna. Keunikannya dalam karyanya ialah menampilkan tiga unsur utama; adanya rumah, jalanan dan pohon yang merepresentasikan tentang manusia Unsur tersebut selalu dihadirkan dalam lukisan pemandangannya namun tidak ada keberadaan manusia dalam luksian Hal ini berarti bahwa ketiga unsur tersebut menjadi representasi manusia, tiga unsur tersebut tidak pernah lepas dalam hidup manusia; seperti adanya jalan sebagai perjalanan dalam hidup, rumah sebagai tempat persinggahan, tempat kita berkeluh kesah, bercerita, berlindung, tinggal sebagaimana sejatinya manusia, serta pohon yang selalu tumbuh berdiri kokoh sebagai peneduh dan tempat kita belajar. Dalam Proses perjalanannya sebagai seniman, terjadi perubahan dalam memandang dunia yang juga sangat berpengaruh terhadap gaya berkarya, dari naturalis menjadi ekspresi hingga simbolik. Namun, bagi Bugi Haryawan, semua itu merupakan bahasa yang diwujudkan dari pengalaman yang didapat dalam memaknai hidup. Walau begitu ia tetap senang berkarya melukis pemandangan menggunakan pisau palet hingga saat ini.
Budi ketika merespon leang-leang, ia mencoba melihat sisi lain dibalik mahakarya peninggalan tersebut. hal ini tentang dari tiada menjadi ada lalu hilang yang kini bersisa jejak. Harapan dalam karya yang diciptakan ialah sebagai pengingat bagi kita tentang keberadaan yang akan hilang khususnya kebudayaan namun dalam perjalanan hidup kita mampu meninggalkan jejak untuk masa selanjutnya.
Deskripsi Karya:
Karya instalasi yang dibuat berupa sarang yang terdiri dari lima buah dengan ukuran dari terbesar hingga terkecil, disertai relief jejak kaki dari masing-masing sarang, Sarang yang disebut sebagai hut merupakan gambaran rumah tinggal purba sebagai tempat berteduh, penghangat, berlindung yang besar nan megah dengan susunan sisih dinding rumah menyerupai bebatuan gua yang saling berdiri menopang membentuk model prisma segitiga dengan ukuran tinggi 5 meter hingga 1 meter dan luas karya instalisasi kurang lebih 20 meter.
Ket.
Tulisan ini telah dipublikasian di katalog Pameran Leang-leang Spirit; Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah dan Majalah Merupa Volume 1, Nomor 1, Oktober-Desember 2021.





Komentar