top of page

Faisal Syarif: Leang-Leang, Cinta dan Jalan Spiritual

Diperbarui: 27 Nov 2022

Penulis: Galang Mario


Resilience adalah judul karya Faisal Syarif yang ditampilkan pada Pameran Seni Instalasi Makassar Art Initiative Movement (MAIM) pada 12-19 November di Benteng Rotterdam. Resilenece mengandung makna “ketangguhan dan kekuatan”. Resilience dapat pula berarti spirit untuk menjalani hidup. Spirit adalah anugerah Sang Maha Hidup. Di dini, Faisal Syarif memandang bahwa sipirit ilahiah yang terkuat adalah cinta. Dalam konteks Leang-leang yang menjadi tema pameran seni instalasi ini, bagi Faisal Syarif, adalah penanda cinta ilahiah itu. Keberlangsungan kehidupan manusia hanya dapat terjadi dengan kekuatan cinta menuju ilahi. Dengan demikian, Leang-leang sesungguhnya adalah jalan spiritual untuk memaknai cinta ilahi itu.

ree

Konsep karya Faisal Syarif sesungguhnya sangat erat kaitannya dengan mental dan perilaku manusia (psikis) khususnya dalam diri. Konsep tersebut juga dapat ditemukan dalam karya sebelumnya, seperti pada Rally MAIM #2 dan #3 yang diselenggarakan di Artmosphere. Konsep ini mewarnai karya-karya Faisal Syarif hingga saat ini.


Dengan kata lain, karya-karya Faisal Syarif belakangan ini merupakan refleksi estetik batiniah yang dialaminya. Dulu, segala masalah dalam dirinya selalu tercermin dalam karyanya; karya-karyanya berangkat dari proses pencarian diri, trauma, ujian dan sebagainya hingga menemukan satu titik terang yang ia beri nama “kesadaran estetik”.


ree

Berangkat dari pengalaman estetis Faisal Syarif, yang terendap secara batiniah dari Leang-lelang, membawanya pada kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran tentang substansi kedirian dan kehadirannya sebagai manusia dalam hidup bersama alam. Konsep karya ini menggambarkan tentang kesadaran manusia dalam menjalani kehidupan. Semua persoalan hidup ada dalam diri manusia. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan perspektif yang tepat agar kehidupan menjadi damai. Sebab manusia yang sadar, ialah manusia yang mampu memilih perspektif yang tepat dan tidak menganggap dirinya sebagai korban. Manusia yang merasa dirinya korban sama halnya tidak sadar dan tak mampu menyikapi secara positif kehidupan yang dijalaninya. Begitupun hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Perasaan menjadi korban mengindikasikan bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang terbelenggu, hal tersebut merupakan emosi dan pikirannya yang menghambat untuk mencapai kesadaran dalam memilih perspektif yang tepat. Ketika kesadaran tersebut yang didapat, maka secara intens terjadi dan melekat, sangat berdampak terhadap diri juga lingkungan. Hal inilah yang menjadikan manusia mampu menikmati kebahagiaan dan kedamaian sejati; cinta terhadap sesama manusia dan merawat keharmonisan alam semesta.


Kesadaran-kasadaran estetik dan spiritual yang didapat di Leang-leang menjadi inspirasi Faisal Syarif untuk menghadirkan fenomena servomekanisme. Dalam dunia militer, ini berupa peluru kendali. Pada karya instalasi kali ini terdapat tiga bentuk dengan tiga perspektif; tampak atas berbentuk peluru kendali yang terbentuk dari deretan-deretan tiang besi yang disusun sedemikian rupa dan dari sisi yang lain tampak bentuk yang ruwet dan dari sisi depan terlihatlah bentuk dan visualisasi cinta (love). Karya tersebut menawarkan tiga perspektif, yang mengajak kita melihat dan menemukan sudut pandang yang tepat.


Faisal Syarif yang biasa dipanggil ical, ialah salah satu seniman Sulawesi selatan yang lahir di Makassar pada tanggal 15 Oktober 1978. Faisal Syarif lahir dengan bakat seni yang kuat. Ia sangat senang dengan hal-hal yang berbau kesenian. Ia mengatakan bahwa ketika menghasilkan karya, ia selalu memuat segala hal yang berhubungan dengan perilaku dan mental manusia. Selain aktif sebagai seniman, ia juga dulunya aktif sebagai pengajar seni rupa.


ree

Faisal Syarif besar dan tumbuh di lingkungan kesenian yang baik. Interaksi kesehariannya terutama keluarga menunjang aktivitasnya sebagai seniman. Hal tersebut menjadi salah satu dari sekian alasan yang membuatnya dekat dengan kesenian dan menjadi penentu arah untuk memilih jalan kesenian terutama dunia seni rupa. Walau dulunya ia gemar bermain musik.


Perjalanan karir berkesenian Faisal Syarif dimulai sejak tahun 1999; dari menerima pesanan lukis portrait, bekerja sebagai muralis gedung dan sekolah-sekolah, mengikuti lomba kesenian dan berpameran. Hingga ditahun 2003; menjadi pengajar seni rupa di TK Sikomo selama 3 tahun di Jakarta kala itu.


Pada tahun 2008 Institut kesenian Makassar (IKM) dibuka. Kampus seni ini memberi kesempatan kepada Faisal Syarif melanjutkan pendidikan demi mengasah kemampuan berkeseniannya. Di sini Ical, sapaan akrabnya, bertemu orang-orang yang juga sama dengannya; berjiwa seni. Momen ini membentuk kembali dan membuat Faizal Syarif semakin tertarik pada seni rupa. Ia kemudian menegaskan tekad untuk berperan dalam dunia kesenirupaan, terutama di Makassar.


Pada tahun 2011 Ical kembali ke Jakarta menjadi pengajar seni rupa di Gallery Hadiprana di Kemang selama 4 tahun.


ree

Selain mengajar, seniman berputri satu saat ini, juga aktif mengikuti diskusi kesenian disana. Ia mengunjungi kelompok kesenian dan selalu hadir dalam pameran seni rupa. Hal tersebut memperkaya pengetahuan seni rupanya. Sampailah di tahun 2014, Ia kembali ke Makassar dan aktif berkesenian, mengikuti berbagai pameran yang diadakan; dari pameran bersama, salah satu pameran bertajuk “Stasiun” yang merupakan pameran berseri, sampai 20 seri, di Makassar. Selain itu, Faisal Syarif juga berpartisipasi pada Pameran Nasional Nusantara. Pada tahun 2018 Faisal Syarif bersama rekan perupa lainnya membentuk MAIM sebagai ruang penggerak seni rupa Makassar.



Deskripsi Karya:

Karya instalasi yang dibuat menggunakan material tongkat-tongkat besi yang tertancap. Masing-masing tongkat memiliki segenggam batu-batu yang tembus dan melengket ditubuh besi tersebut. Dalam prosesnya, keunikan dalam karyanya ialah eksplorasi terhadap pembuatan batu yang terbuat dari abu vulkanik dan semen sebagai perekatnya, selain itu batu yang dibuat terasa ringan. Rangka susunan material menyerupai bentuk pohon yang berdiri. Bila diartikan seperti manusia yang berdiri dan tetap stabil walaupun diterpa berbagai cobaan, tetap kokoh dan diam (silent). Jika diperhatikan secara keseluruhan objek, unsur-unsurnya saling mendukung menciptakan suasana damai sesuai dengan tujuan konsep yang ingin dicapai yaitu silent. Batu-batu yang tertusuk menggambarkan kondisi manusia yang diterpa dan ditusuk cobaan dengan beragam kedalaman besi yang menusuk dan ada kalanya kita harus pasrah menerima hal tersebut.


Ket.

Tulisan ini telah dipublikasian di katalog Pameran Leang-leang Spirit; Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah dan Majalah Merupa Volume 1, Nomor 1, Oktober-Desember 2021.

Komentar


bottom of page