Goenawan Monoharto:Leang-Leang, Simbol Manusia Dulu dan Sekarang
- merupajalanseni
- 22 Des 2021
- 4 menit membaca
Diperbarui: 27 Nov 2022
Penulis: Alif Aflah Yafie
Mulanya, Tuhan meniupkan nafasNya di hari ke tujuh penciptaan bumi. Manusia lahir dan tumbuh, berkembang dan memenuhi bumi. demikian perupa Goenawan Monoharto menghadirkan karya seni instalasinya untuk menyampaikan penanda perjalanan manusia sejak 3000-8000 tahun yang lalu menuju masa sekarang. Goenawan memperkenalkan awal kisah kehidupan manusia dulu hingga ke masyarakat urban kini, serta mengingatkan hubungan antar manusia dan tuhannya yang semestinya selalu terpaut intim.
Goenawan Monoharto lahir 21 Maret di Makassar tahun 1957. Seniman multi profesi ini akrab disapa Kak Goen. Ia seorang jurnalis, direktus penerbitan, penulis, seniman teater dan juga fotografer yang konsisten berkarya hingga sekarang. Goenawan telah menyelenggarakan pameran sejak tahun 1084. Ia meraih penghargaan medali emas pada kegiatan DAF 2001 di Jogjakarta. Tahun 2021, Goenawan memamerkan karyanya dalam kolaborasi bersama maestro tari Dr. Nurlina Syahrir yang merupakan dosen di Universitas Negeri Makassar (UNM). Pameran tersebut bertema, āRefocusing Pakkarenaā. Prinsip dari karya Goenawan adalah prosesnya. Menurutnya, hasil karya sangat dipengaruhi perjalanan dalam menciptakan karya. Gagasan awal, nantinya terus berkembang sesuai dengan alur waktu hingga saat karya telah dipajang. Karya tersebut menemukan antiklimaksnya sebagai akhir perjalanan karya untuk āmenjadiā. Bentuk karya tidak akan berkembang atau berubah lagi, hingga waktunya dibongkar saat pameran selesai.

Masih pada tahun 2021, Goenawan juga berpameran bersama seniman Makassar yang tergabung dalam Makassar Art Initiative Movement (MAIM). Peristiwa seni rupa instalasi MAIM digelar pada 12-19 November 2021 di Fort Rotterdam. Even ini bertema, āLeang-Leang Spirit: Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarahā.
Goenawan mengangkat judul āTO; Aku Ada Sebab Kau Berkataā. To atau Tau berarti manusia dalam bahasa Bugis Makassar. Menurut Goenawan, karya ini merupakan sebuah kata yang digunakan untuk menyebutkan seseorang yang mengandung makna asal dan karakter orang itu. Berdasarkan asumsi bahwa Leang-leang merupakan cikal bakal kehidupan To hingga sampai di masa sekarang. Bukti gambar cap tangan manusia yang disebut bate lima menandai bahwa manusia pernah ada di sana, ini sebuah jejak peradaban. Dikaitkan dengan āAlegori Guaā milik Plato, yang memandang manusia sebagai mahluk terpenjara oleh pikirannya sendiri, sehingga tidak dapat melihat apa yang ada diluar dirinya. Berangkat dari itu, Goenawan mengisahkan kepada kita lewat karya instalasinya bahwa tidak ada perbedaan antara kita yang dulu dan sekarang. Manusia tetap mahluk yang sama sejak pertama kali diciptakan oleh Tuhan. Ia membayangkan pada setiap masanya, manusia melakukan proses ritual pemujaan kepada sang pencipta yang dilakukan dalam berbagai bentuk, khususnya berupa tarian.
Sebagai fotografer, Goenawan menghadirkan kumpulan foto monocrom dan berwarna yang dimuat dalam kain sutra putih sepanjang 30 meter. Dalam prosesnya Goenawan tidak hanya sekedar merekam bagaimana situasi yang ada di situs Leang-Leang secara terus terang. Menurutnya, apa yang dapat kita rasakan di Leang-leang dapat pula kita rasakan di lingkungan sekitar. Pada penyajian foto, Goenawan menampilkan kumpulan gambar-gambar tangan (bate lima) yang ditemukannya di Leang-leang dan juga lingkungan sekitarnya. Goenawan juga menyajikan video tari Pakarena sebagai upaya menghadirkan wujud manusia purba Leang-leang. Bersama Sri Indayanti sebagai penarinya, kali ini Goenawan melukiskan cahaya di lantai 14 salah satu hotel yang memperlihatkan latar lampu-lampu apartemen dan jalan di sekitaran Boulevard, Makassar. Proses ini menurutnya sebagai upaya dalam menghadirkan To Leang-leang menuju kehidupan metropolitan Makassar. Ada pula jerumat moncong (ijuk hitam) yang memenuhi bentangan kain setinggi 1,2 meter pada dinding-dinding bambu. Dinding bambu tersebut disusun berbentuk lingkaran āYing-Yangā yang merupakan simbol dari konsep kepercayaan Taoisme dalam menggambarkan hubungan antara manusia dan juga alam semesta. Goenawan, yang berlatar etnis Tionghoa, bermaksud menghadirkan ikatan yang terjalin antara segala aspek kehidupan ini, bukan hanya antara sesama manusia (dulu, sekarang atau nanti), tetapi dengan lingkungan, se

mesta dan Tuhan.
Deskripsi Karya
Karya Goenawan yang berjudul āTo; Aku Ada Sebab Kau Berkataā menampilkan tiang-tiang bambu setinggi 1,2 meter dengan kain sutra yang melapisi pola berdirinya bambu, membentuk ruang tersendiri dengan denah lingkaran Ying-yang apabila dilihat dari atas karya. Kain-kain sutra tersebut diisikan kumpulan foto dan gambar tangan, sebagai respon terhadap wujud gambar tangan (bate lima) yang terdapat di situs Leang-leang. Tanda sebagai jejak atas apa yang orang purba telah ciptakan dulu. Menurut Goen, bate lima juga dapat ditemukan dilingkungan masa sekarang. Yaitu pada segala yang kita ciptkan didunia, segala wujud pemikiran yang menjadi nyata dan abadi. Gambar dan foto yang dikumpulkan Goenawan ditampilkan pada tubuh kain secara berulang dan berjarak-jarak diantaranya. Ada yang berjauhan, ada juga yang saling rapat. Upaya tersebut dilakuakn dalam menghadirkan irama kehidupan apabila kita masuk kedalam karya tersebut.
Diberikan dua jalur untuk dapat memasuki karya instalasi ini. Dengan mengikuti pola Ying-yang yang terdapat didalamnya dengan bagian tengah sebagai penghubung kedua jalur tersebut, menciptakan sirkulasi masuk dan keluar yang memiliki arti mula dan akhir dalam kehidupan. Ditengah ruang tersebut disimpannya layar komputer yang direbahkan pada atas serat-serat ijuk. Lengkap dengan CPUnya, pada komputer tersebut ditampilkan vidio tari Pakarena yang dilakukan oleh Sri Indayanti dengan latar panorama kota Makassar dengan lampu-lampunya saat malam. Menurut Goen, pemilihan tari pakarena ialah sebagai penghadiran wujud manusia purba dalam memperlihatkan bagaimana mereka menjalani kehidupan di dunia dan hubungannya dengan tuhan. Karpet merah yang menemani perjalanan memasuki karya tersebut diartikan sebagai tanda penghormatan atas kehidupan yang terlah hadir di dunia.
Serat ijuk (disebutnya jerumat moncong) dibuat menempel, mengikat dan menghubungkan tiap sisi karya. Dipertimbangkan sebagai penambah kesan artistik dan juga penyimbolan waktu purba, sekaligus penguat kontruksi karya yang terpajang pada ruang terbuka. Dapat dilihat pada serat ijuk yang dijadikan tali pengikat antara tiap tiang bambu dan tanah sebagai tempat berdirinya karya. Peran lampu-lampu dalam alur karya tersebut juga diberikan untuk menambah suasana artistik dari karya saat malam.
Masuk kedalam karya instalasi Goenawan Monoharto kali ini, berarti masuk kedalam ruang dan waktu yang diciptkannya untuk merasa dan mengetahi bagaimana alur kehidupan yang terus berputar namun tetap seimbang disetiap perubahan-perubahannya. Seperti syair puisi yang dimuat dengan kata, namun dapat ditemukan harmoni dalam pilihan ketukan nada yang diberikannya.
Ket.
Tulisan ini telah dipublikasian di katalog Pameran Leang-leang Spirit; Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah dan Majalah Merupa Volume 1, Nomor 1, Oktober-Desember 2021.





Komentar