Muhammad Suyudi: Leang-leang, Muasal
- merupajalanseni
- 31 Des 2021
- 5 menit membaca
Diperbarui: 27 Nov 2022
Penulis: Hariping

Malam itu tepatnya 27 September 2021 di sebuah taman perjumpaan. Taman yang dinamai “Kebun Cinta” Makassar Art Initiative Movement (Kebun Cinta MAIM). Taman yang menyuguhkan nuansa unik nan artistik. Bayangkan saja, kami tidak hanya menyeruput secangkir kopi dan gula, tapi juga karya di sekeliling tempat itu. Kolam ikan, studio musik dan patung figuratif di beberapa sudut ajang.
Sembari menikmati secangkir kafein dan alunan musik dari sudut taman, saya berbincang- bincang dengan salah seorang perupa. Rupanya orang ini adalah sosok seniman. Seniman yang tidak hanya mendisplay karya di pameran-pameran Kota Daeng, tapi karya-karyanya telah tersebar hingga ke pulau seberang. Di Galery Nasional Indonesia, salah satunya.
Perupa ini adalah Muhammad Suyudi. Usianya boleh muda tapi karya dinilai sudah matang oleh beberapa perupa di Makassar. Ia lahir di Wajo, 24 September 1989. Satu hal yang perlu dikemukakan bahwa Muhammad Suyudi adalah pribadi yang idealis. Jiwa seni sudah melekat dalam dirinya sejak kecil. Jiwa seninya mulai dipoles sejak memasuki bangku kuliah. Di kampusnya, Universitas Negeri Makassar (UNM), ia menempuh proses penempahan jati diri dari para praktisi seni. Sehingga, tidak meragukan ketika Muhammad Suyudi menjadikan seni sebagai jalan hidupnya. Pernyataan ini sangat beralasan karena sebelum menempuh pendidikan di Seni Rupa UNM, ia sempat lulus di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin. Tapi, jalan seni memanggilnya. Ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di jalan seni yang ia pilih di Jurusan Pendidikan Seni Rupa di UNM.
Kini, pada even yang diselenggarakan Makassar Art Initiative Movement (MAIM), karya Muhammad Suyudi merupakan satu dari sepuluh karya seni instalasi turut mengambil bagian pada even ini. Pameran seni instalasi bertema, “Leang-Leang Spirit: Melampaui Rupa Memaknai Nilai Sejarah,” merupakan respon perupa yang tergabung dalam MAIM terhadap eksistensi situs prasejarah Leang-leang, Maros. Leang-Leang Spirit sendiri merupakan sebuah gagasan yang dilahirkan dari gerakan kolaboratif perupa MAIM. Kegiatan ini didukung oleh Kementrian Pendidikan, Kebudayaan dan Riset Indoensia. Diharapkan bahwa gagasan-gagasan yang dilahirkan para perupa ini menjadi cikal bakal kebangkitan seni rupa Indonesia Timur.

Karya seni instalasi Muhammad Suyudi yang berjudul “Muasal” berbicara banyak perihal kebaikan mecapai puncak kesadaran. Karya yang ditampilkannya di Leang-Leang Spirit merupakan refleksi pengalaman estetik Muhammad Suyudi tentang perjalanan hidup manusia.
Muasal adalah alur yang menjadi konsep karya Kak Yudi (sapaan akrab Muhammad Suyudi). Konsep ini mengedepankan intuisi estetik dan pertimbangan filofofis, perencanaan matang untuk menciptakan konsep yang dapat dikonstriksi untuk membawa penanda kesadaran hakekat kemanusiaan. Konsep ini menunjukkan pertalian satu komponen dasar pembentuk kehidupan yang satu dengan yang lainnya. Muhammad Suyudi memvisualisasikan fenomena hidup yang dinamis. Alur lahir sebagai metafora dari problematika hidup manusia, baik menyangkut alur pemikiran, alur peradaban dan alur- alur yang sifatnya transendental.
Setiap masalah adalah ujian hidup, kata Muhammad Suyudi. Hakikat dalam pikiran Muhammad Suyudi, “Masalah itu tergantung bagaimana kita memaknai dan menafsirnya.” Proses penafsiran diasumsi sebagai sebuah batu loncatan atau tangga kehidupan. Tangga uji kelayakan hidup melalui seleksi alam. Dalam alur pemikiran manusia, kata Suyudi, bahwa manusia berada di bawah langit yang sama, masalah yang dihadapi itu sebenarnya juga sama. Intensitas masalah yang dihadapi setiap manusia berdasarkan takaran semesta. Tidak lebih dari batas kemampuan manusia.

Muhammad Suyudi menjelaskan bahwa sejak lahir, manusia telah dianugerahi potensi diri yang sangat istimewa. Terlepas dari keistimewaan itu manusia terkadang tercabar dari pemikirannya sendiri. Dalam proses pengenalan muasal, pengenalan potensi diri adalah modal utama.
“Namun, sering kali, kita menciptakan labirin-labirin dalam diri kita yang menyesatkan kita untuk mengenal diri kita sendiri. Ini adalah istilah yang senada dengan ungkapan perupa Budi Haryawan dalam karya lukisnya, “Self Labyrinth”. Ia manifestasi dari self-image yang memberi kesadaran hakikat dari sebuah masalah yang ditimpakan Tuhan.
Tuhan melimpahkan berbagai perkara hidup bukan tanpa dalih. Pola kehidupan itu kadang zig-zag, miring, naik, turun semua itu memiliki alasan. Arketipe (pola dasar) kehidupan itu perlu dipahami bahwa hidup tidak akan lurus-lurus saja seperti yang tergambarkan di atas hamparan kain sutra. Hidup itu pasang surut. Perkara hidup mesti ditanggapi secara proporsional, mungkin dengan mengurangi egosentris di dalam diri. Solusi dari setiap persoalan itu dapat ditemukan melalui kesadaran diri.
Pergolakan hidup yang disimbolkan dengan beragam bentuk dan jenis benda. Mulai dari penggunaan bambu, kain sutra dan guci sebagai komponen utama karya Muhammad Suyudi.

Timbul kemudian pertanyaan di benak kita. Mengapa menggunakan bambu, kain sutra, dan guci ? Semua itu tidak lepas dari perannya terhadap kehidupan. Secara filosofis bambu sendiri dalam budaya china disimbolkan sebagai kesatria, jagoan, pendekar dan senjata dalam mengusir penjajah. Dalam budaya Bugis Makassar bambu dikenal sebagai simbol penjagaan merentang yang maknanya sepadan dengan diksi magetteng (bahasa Bugis) yang mengajarkan tentang kejujuran. Bambu dalam karya tersebut merentangkan kain sutra.
Kain sutra menjadi bagian terpenting sebagai simbol alur kehidupan dalam karya ini. Kain sutra dipilih Suyudi, dengan pertimbangan makna. Sutra tidak sekadar untuk membukus tubuh tapi dalam proses pembuatan sutra itu sendiri ada banyak panji-panji kehidupan atau falsafah hidup di dalamnya. Untamanya pendidikan, melatih kesabaran dan sebagai simbol bentuk penjagaan bagi perempuan.
Secara artifisial guci dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai wadah yang terbuat dari tanah liat. Guci sebagai tempat menyimpanan makanan dan sebagainya. Secara filosofis, Muhammad Suyudi mengilustrasikan guci sebagai diri manusia. Budaya Bugis Makassar mengenal istilah “sompe'”, yaitu merantau untuk mengisi gerabah atau diri kita. Secara lokalitas guci disimbolkan sebagai gerabah harapan. Guci juga merupakan satu siklus yang ada dalam alur kehidupan. Perjalanan hidup dari lahir sebagai seorang bayi, tumbuh dewasa, tua, hingga batang tubuh berakhir. Tapi apa yang tidak berakhir dari kehidupan ini? Inilah yang kemudian mengisi guci itu. Dalam istilah Bugis dikenal dengan “rampe-rampe madeceng” yang bermakna budi pekerti yang baik. Budi pekerti baiklah yang hidup abadi. Keabadian yang dikenang oleh generasi berikutnya. Keutuhan gerabah menunjukkan entitas diri yang baik. Gerabah yang pecah menunjukkan bahwa diri berisikan hal yang kurang baik sehingga berujung pada kehancuran. Secara utuh menurut Muhammad Suyudi, karya ini jikalau diamati menyerupai kunci nada G. Sedang musik sendiri berhubungan dengan penikmatan dan penghayatan. Sehingga muasal adalah alur kehidupan yang senantiasa ditempuh ibaratnya mendengarkan musik. Sebab hidup tanpa penghayatan sama saja hidup tanpa makna.

Deskripsi Karya:
Dari proses konstruksi hingga terciptanya karya istalasi yang utuh, karya Muhammad Suyudi mengunakan ruang eksterior sebagai medium. Medium datar berukuran 45 meter persegi. Bidang berisi 35 tiang gawang, gawang berdiri tegak menggunakan prinsip konstruksi sepatu kuda (kaki beton dan tiga besi tanam) hal tersebut tentu melalui pertimbangan stuktur tanah yang humus dan berat beban. Tinggi gawang memiliki ukuran yang bervariasi berdasarkan pola desain untuk menciptakan lekukan dan pasang surut kain sutra. Di atas palang gawang terbentang kain sutra sepanjang 130 meter. Untuk meletakkan Guci, dibuat sebuah bale-bale (kursi dari bahan dasar bambu) berbentuk walasuji sulapa eppa' (ruang yang terdiri dari empat sisi). Penggunaan bentuk walasuji sulapa eppa' menurut Muhammad Suyudi bahwa, sulapa eppa' adalah bagian dari kebudayaan bugis Makassar. “Karena saya mengadopsi sulapa eppa' makanya bentuknya ini segi empat 1,5 x 1,5 meter”. Luas bale-bale 2,25 meter persegi, dan tinggi 2,5 meter.
Ket.
Tulisan ini telah dipublikasian di katalog Pameran Leang-leang Spirit; Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah dan Majalah Merupa Volume 1, Nomor 1, Oktober-Desember 2021.





Komentar