REMPA: Barsatu Merupa Bisikan Alam
- merupajalanseni
- 31 Des 2021
- 4 menit membaca
Diperbarui: 27 Nov 2022
Penulis: Alif Aflah Yafie dan Hariping

Ruang Seni Kreatif Perempuan Makassar (Rempa) beberapa kali berkunjung ke situs prasejarah Leang-leang. Kunjungan ini merupakan eksplorasi langsung terhadap Leang-leang sebagai inspirasi karya seni instalasi yang digarap Rempa untuk pemeran seni instalasi Makassar Initiative Movement (MAIM) pada 12-19 Novemner 2021. Rempa adalah komunitas yang didalamnya bergabung kelompok perempuan, disabilitas dan anak-anak. Karya Rempa yang dipamerkan di even ini diberi judul, āMemoryā adalah karya kolaborasi antara perupa yang bergabung di dalam komintas ini.
Anggota komunitas Rempa, mengeksplorasi, mendalami dan menemukan esensi-esensi estetik dari Leang-leang. Nur Ikayani, koordinator Rempa saat ini menyaksikan langsung kerusakan yang mulai terjadi pada bebatuan marmer dan kars di sekitar Situs Prasejarah Leang-Leang. Menurut Kika, sapaan akrab Nur Ikayani, eksploitasi alam di sekitar Leang-leang diakibatkan dari aktifitas proyek pertambangan yang terus-menerus mengeksploitasi ekosistem hutan karts Maros. Pembangunan yang dilakukan dinilai tidak memahami dampak kerusakan terjadi pada masa mendatang.
Berdasar dari pengalaman di Leang-leang, perupa Rempa menciptakan karya seni instalasi untuk menjelaskan nilai kehidupan yang hilang pada masa sekarang. Ada ancaman kehilangan memory peradaban awal manusia. Padahal keberadaan situs purba ini seharusnya menjadi penyambung masa lalu peradaban manusia yang berlangsung hingga saat ini.
Sejak awal terbentuknya pada November 2020, Rempa menjadi komunitas yang bergerak dalam membangun ruang kreatif yang dapat memicu semangat dan kepercayaan diri para perempuan Makassar dalam mencipta karya seni. Gagasan utama komunitas ini adalah, āSemuanya bisa berkarya.ā Rempa aktif memfasilitasi para perempuan Makassar dan kelompok rentan; disabilitas dan anak-anak untuk berkarya seni.

Rempa sudah melangsungkan pameran untuk pertama kalinya, dengan mengangkat tema āTitik Nolā pada bulan Juni 2021. Kini, Rempa tergabung bersama sembilan perupa MAIM dalam pameran seni instalasi āLeang-Leang Sprit: Melampaui Rupa Memaknai Nilai Sejarahā.
Nur Ikayani yang juga salah satu pendiri Rempa menjelaskan dasar gagasan awal āmemoryā Rempa adalah bahwa pada masa lampau manusia dapat hidup bersandingan dengan alam. Namun sekarang manusia malah merubah alam untuk kebutuhan hidup mereka secara berlebihan, melampaui batas.
āInilah nilai kehidupan yang hilang di masa sekarang. Apabila pembangunan yang semena-mena ini terus dilakukan, manusia menggali lubangnya sendiri menuju kepunahan. Sebab, apabila alam rusak; tanaman dan hewan-hewan yang ada didalamnya menghilang, Nantinya manusia akan hidup dari mana? Sementara kelangsungan hidup manusia didasari oleh keseimbangan alam.ā
Konsep berkarya Rempa juga dielaborasi dengan tafsir-tafsir mimpi Nur Ikayani dan dipadukan dengan gagasan atas apa yang terjadi dilingkungannya, yaitu berfokus pada situs purbakala Leang-Leang. Rempa mengimajikan bentuk kompleks dari waktu dan kehidupan manusia, atas alam yang didiaminya. Mengangkat bentuk rangka gedung yang menyimbolkan tempat hunian, dimana seluruh aspek yang mendasarinya terus berkembang. Aspek tersebut disimbolkan pada wujud pohon dan bebatuan yang tumbuh di dalam rangka gedung itu. Adapun dimasukkannya figur dua manusia sebagai pemaknaan waktu, yaitu waktu dulu dan juga sekarang. Dari bentuk yang dihadirkan ini, Rempa mengajak untuk merenungkan kembali, apakah kehidupan yang telah kita bangun sepanjang ini telah benar? Mengapa kerusakan semakin banyak terjadi? Bagaimanakah seharusnya manusia hidup dengan alam?
Menurut Kika menciptakan karya seni instalasi merupakan hal baru dalam proses berkesenian Rempa. Ia berharap bahwa pesan seni instalasi yang diciptakan bersama komunitasnya dapat diterima maknanya. Menurut Kika, alam sebenarnya senantiasa berkomnuikasi pada manusia melalui bisikan-bisikan alam. Namun manusia yang tak pernah mendengarkan.

Pelibatan saudara-saudara dari kelompok disabilitas dalam karya Rempa mendapat apresiasi yang tinggi. Firdaus Abdul Rahim, salah seorang disabilitas yang bergabung di Rempa merasa bahwa kelangsungannya belajar bersama didalamnya sangat adaptif.
Firdaus menuturkan, āuntuk bergaul dan berbaur sangatlah bagus. Artinya, Rempa teman-teman itu bisa loyal dengan tema-teman disabilitas". Menurutnya, keterlibatan mereka di Rempa memperluas akses ke tempat-tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya, yaitu dalam proses mengenal tempat prasejarah, mulai dari Museum Kota Makassar hingga ke tempat Prasejarah Leang-leang.
Dari segi keterlibatan bersama Rempa, mereka masih dalam proses penyesuaian. Firdaus mengakui bahwa dengan keterlibatan di Rempa maka mereka mendapat wadah untuk mengasah kemampuan. āKegiatan saya, kan mahasiswa sekaligus jurnalis, dengan adanya Rempa, kami dan teman bisa mengasah kemampuan utamanya di dunia dadin dan saya sendiri bisa mengasah kemampuan menulis," Jelas Firdaus yang merupakan mahasiswa semester 3 jurusan Bahasa Indonesia, Universitas Islam Makassar (UIM). Sebagai jurnalis, diantaranya menulis di Tribun Timur, Fajar dan Kareba Indonesia.
Karya instalasi Rempa dikerjakan secara kolaboratif dengan anggotanya. Mereka yang terlibat dalam karya ini adalah: Nur Ikayani, Evi Wahyuni Hadi Sunarto, A. Tri Rahmi Amalia A. Amin, Nurnaningrum Khaerunnisa, Sahruni Sahruddin, Radhiska Sahira, Rasdiana H Tihala Sandjata, Halimah Lubis, Audi Moudry dan Halisa Safal Fatiha.
Deskripsi Karya
Karya kolaborsi para kelompok perempuan, disabilitas dan anak-anak ini terwujud sebagai sebuah gedung setinggi tiga meter yang di sampingnya, keluar batang-batang pohon yang terikat menjadi satu. Terdapat figur boneka anak-anak yang menyimbolkan ketimpangan waktu antara dulu dan sekarang. Figur anak dengan baju dedaunan berwarna merah kecoklatan dan diposisikan sedang duduk diatas ayunan yang diikat pada pohon, diartikan sebagai waktu dulu atau prasejarah; Sedangkan yang hadir dalam gedung, terlihat sedang memegang telpon dari kaleng yang disimbolkan sebagai upaya manusia memahami bisikan alam.
Bentuk gedung dihadirkan dengan kain kanvas putih yang membungkus rangka paralon. Tiga jendela, menjelaskan dimana tampak depan karya. Jendela persegi di bagian atas memperlihatkan figur didalamnya, di bawah jendela tersebut, terdapat dua jendela berwarna hitam yang berbentuk persegi dan segitiga, menyesuaikan dengan bentuk gedung. Gedung tersebut juga diberikan atap berupa kain hitam yang menutupi tampak atas karya. Bawah gedung dipenuhi dengan batu-batu bata, pecahan semen dan juga ranting-ranting pohon. Penggunaan bahan tersebut, disyaratkan untuk menceritakan pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan alam namun setelah begitu banyaknya tembok telah didirikan, bangunan tersebut hanya menjadi ruang-ruang kosong yang dibiarkan rusak dengan sendirinya.
Dalam proses penciptaan, terdapat tiga kali perubahan desain untuk dapat menemukan wujud paling tepat dengan konsep yang diinginkan. Nur Ikayani mengatakan bahwa untuk menemukan perwujudan dari Leang-leang, Rempa bersama-sama melakukan kunjungan langsung. Upaya tersebut dimulai dari merasakan aroma, hawa dan tekstur dari Situs Leang-Leang. Dengan wujud akhir yang terinstal di halaman Benteng Fort Rotterdam, Rempa telah puas dengan segala usaha yang telah dilakukan.
Ket.
Tulisan ini telah dipublikasian di katalog Pameran Leang-leang Spirit; Melampaui Rupa, Memaknai Nilai Sejarah dan Majalah Merupa Volume 1, Nomor 1, Oktober-Desember 2021.





Komentar